Mau Laporkan Hakim? Yuk Simak Prosedurnya
Berita

Mau Laporkan Hakim? Yuk Simak Prosedurnya

Selain langsung ke MA, laporan dugaan etik yang dilakukan hakim juga bisa diadukan ke KY.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Gedung KY. Foto: SGP
Gedung KY. Foto: SGP
Bagi anda yang merasa telah terjadi dugaan pelanggaran etik oleh hakim, bisa melaporkannya ke Mahkamah Agung (MA) ataupun Komisi Yudisial (KY). Di KY sendiri, ada mekanisme yang harus dilewati saat melaporkan dugaan pelanggaran tersebut. Wakil Ketua KY Farid Wajdi mengatakan, setiap laporan yang masuk akan diverifikasi oleh KY.

“Ini bermula dari pengaduan, verifikasi, registrasi, masuk pemeriksaan, masuk panel,” kata Farid kepada hukumonline, Selasa (8/3).

Kemudian, lanjut Farid, KY memverifikasi laporan yang masuk. Jika hasil verifikasi tak ada dugaan pelanggaran, tidak ditindaklanjuti. Sebaliknya, jika ada dugaan pelanggaran, maka ditindaklanjuti melalui pleno. “Kemudian pleno. Lalu ada usul penjatuhan sanksi dan rekomendasi,” jelasnya.

Terkait penanganan pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh hakim, kedua lembaga telah mengeluarkan Peraturan Bersama MA dan KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012–02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etika dan Pedoman Perilaku Hakim (Peraturan Bersama Kode Etik Hakim). Dalam peraturan itu, terdapat klausul pemeriksaan bersama dilakukan dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara KY dan MA mengenai usulan KY tentang hasil pemeriksaan atau penjatuhan sanksi selain sanksi pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat.

Selain itu, pemeriksaan bersama MA-KY juga diperuntukan salah satunya terhadap laporan yang menarik perhatian publik dan masing-masing lembaga memandang perlu untuk melakukan pemeriksaan bersama. Terhadap hasil pemeriksaan yang menyatakan terdapat pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), KY bisa mengusulkan sanksi kepada MA. Selain langsung ke MA, laporan dugaan kode etik bisa diadukan kepada KY.

Kemudian, KY mengusulkan ke MA untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Jika MA menimbang layak, maka dalam waktu 60 hari sejak hasil telaah diterima, MA memberitahukan hasilnya ke KY. Sementara, jika tidak layak ditindaklanjuti, dalam waktu 30 hari sejak hasil telaah diterima MA wajib memberitahukan ke KY.

Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) masing-masing merinci pelanggaran mulai pelanggaran ringan, sedang, hingga pelanggaran berat.  Aturan yang dirujuk antara lain ketentuan yang dilarang pada Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 13 Peraturan Bersama Kode Etik Hakim.

Sementara, khusus untuk pelanggaran terhadap Pasal 12 dan Pasal 14 diklasifikasikan sebagai pelanggaran ringan, sedang atau berat tergantung dari dampak yang ditimbulkannya. Sebagai ganjarannya, Pasal 19 ayat (1) membedakan tingkat dan jenis sanksi, mulai sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Keputusan penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim tidak dapat diajukan keberatan.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Bersama MA dan KY Nomor 04/PB/MA/IX/2012 – 04/PB/P.KYIX/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim (Peraturan Bersama MKH), diatur tahapan-tahapan sebelum menjatuhkan sanksi terhadap hakim selaku pihak terlapor.

Pasal 8 ayat (1) Peraturan Bersama MKH menyatakan bahwa pengambilan keputusan MKH dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Musyawarah majelis MKH itu sendiri dilakukan dalam sidang yang tertutup. Dalam hal, musyawarah mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak. Dan apabila masih belum tercapai keputusan, maka yang terakhir diambil keputusan yang menguntungkan bagi terlapor.

“Keputusan Majelis Kehormatan Hakim bersifat mengikat dan tidak dapat diajukan keberatan,” demikian bunyi Pasal 9 ayat (2) Peraturan Bersama MKH.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama MKH mendefinisikan MKH sebagai forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta diusulkan untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian.

Meski musyawarah majelis MKH dilakukan dalam sidang yang tertutup, namun Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa sidang MKH bersifat terbuka untuk umum kecuali dinyatakan tertutup oleh majelis. Selain itu, paling lama 14 hari kerja sejak ditetapkan pembentukan MKH, pemeriksaan usul pemberhentian oleh majelis wajib diselesaikan. “Setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis, Terlapor dipanggil masuk ke ruang sidang,” sebagaimana tertulis di Pasal 6 ayat (2).

Untuk diketahui, majelis MKH bersifat tidak tetap. Dalam arti, pembentukan majelis MKH ini berdasarkan penetapan bersama Ketua MA dan Ketua KY ketika diterima usul pemberhentian dari MA atau KY. Keanggotaan majelis MKH terdiri dari tiga orang Hakim Agung dam empat orang Anggota KY. Selain itu, penunjukan ketua majelis MKH sendiri bergantung darimana datangnya usulan pemberhentian penjatuhan sanksi.

Pasal 3 ayat (5) Peraturan Bersama MKH menyebutkan jika usulan penjatuhan sanksi berasal dari MA, maka Ketua MA menunjuk salah satu Hakim Agung sebagai Ketua majelis MKH dan satu orang pegawai Badan Pengawas MA sebagai sekretaris MKH yang bertugas mencatat jalannya persidangan dan membuat berita acara persidangan. Begitu halnya dengan usulan yang berasal dari KY, nantinya Ketua KY menunjuk salah satu Anggota KY sebagai Ketua majelis MKH dan satu orang pegawai KY sebagai Sekretaris MKH.

Pasal 7 ayat (2) Peraturan Bersama MKH juga menyebutkan, terlapor dapat didampingi oleh tim pembela dari organisasi profesi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Selain itu, terlapor juga dapat mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti lain untuk mendukung pembelaan diri. Tak hanya itu, biaya transport dan akomodasi terlapor dibebankan kepada DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) MA atau KY tergantung berdasarkan lembaga mana yang mengusulkan pelaksanaan MKH.

Sebelumnya, dalam Laporan Tahunan (Laptah) tahun 2015 yang dirilis MA pada awal Maret 2016 terungkap bahwa MA telah menjatuhkan hukuman disiplin kepada 266 aparat peradilan. Dari total tersebut, jumlah terbanyak yang mendapat hukuman disiplin berasal dari unsur hakim yang berjumlah 118 hakim (44,36%). MA sendiri mengakui bahwa hukuman disiplin secara umum mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 yang hanya berjumlah 209 aparat peradilan.

Akan tetapi, dalam Laptah Tahun 2015 itu justru menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dalam hal jumlah hakim yang diajukan ke sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Jika dibandingkan, tahun 2014 tercatat ada 13 orang hakim. Sementara, pada 2015 terjadi penurunan sebesar 38% atau menjadi 6 orang hakim yang diajukan ke sidang MKH.
Tags:

Berita Terkait