Mau Mogok Kerja? Cermati Dulu Ketentuan Ini
Berita

Mau Mogok Kerja? Cermati Dulu Ketentuan Ini

Mogok kerja dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi mogok kerja. Ilustrator: BAS
Ilustrasi mogok kerja. Ilustrator: BAS
Ada kalanya perusahaan mengalami perselisihan hubungan industrial sehingga buruhnya melakukan mogok kerja. Mengacu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mogok kerja diartikan sebagai tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan, Sahat Sinurat, mengatakan mogok kerja yang sifatnya menghentikan pekerjaan sering terjadi di industri manufaktur. Untuk sektor jasa, mogok kerja yang dilakukan biasanya bersifat memperlambat pekerjaan.

Sebelum memutuskan untuk melakukan mogok kerja, Sahat mengingatkan kepada kalangan buruh untuk mencermati ketentuan yang berlaku. UU Ketenagakerjaan menegaskan mogok kerja sebagai hak dasar buruh dan dilakukan sebagai akibat gagalnya perundingan. Menurut Sahat mogok kerja bisa dilakukan karena terjadi perselisihan hubungan industrial yang ujungnya tidak bisa dicapai kesepakatan dalam perundingan antara pengusaha dan buruh.

“Gagal berunding itu bentuknya ada dua yaitu pengusaha tidak mau berunding atau pengusaha dan buruh sudah berunding tapi tidak mencapai kesepakatan,” kata Sahat kepada hukumonline di Jakarta, Kamis (31/8).

(Baca juga: Jika Buruh Ikut Demo pada Jam Kerja).

Sahat mengingatkan paling lambat 7 hari kerja  sebelum mogok kerja dilaksanakan, buruh wajib melayangkan pemberitahuan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi di bidang ketenagakerjaan setempat. Pemberitahuan itu sekurangnya memuat waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; tempat mogok kerja; alasan dan sebab mogok kerja; dan tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja sebagai penanggung jawab mogok kerja.

Bagi Sahat pemberitahuan itu ditujukan agar perusahaan dan instansi bidang ketenagakerjaan setempat bisa menyelesaikan perselisihan itu. Sehingga dalam waktu 7 hari setelah pemberitahuan itu pengusaha dan instansi yang bersangkutan punya kesempatan untuk mencari solusi. Jika mogok kerja tidak bisa dihindari, buruh yang bermaksud mengajak buruh lain untuk mogok kerja dilakukan dengan tidak melanggar hukum.

(Baca juga: Apakah Pekerja Bisa di-PHK Jika Ikut Mogok Kerja).

Secara teknis, mogok kerja bisa dilakukan di dalam atau di luar tempat kerja. Jika bentuknya memperlambat proses produksi, buruh yang mogok kerja tetap bekerja tapi ritme kerja lebih lambat daripada biasanya. Untuk mogok kerja yang sifatnya menghentikan pekerjaan, biasanya digelar di ruang terbuka. “Ketika mogok kerja, buruh datang seperti biasa ke perusahaan tempat bekerja tapi tidak bekerja atau memperlambat pekerjaan,” ujar Sahat.

Sahat menekankan jika berbagai ketentuan itu tidak dipenuhi misalnya mogok kerja bukan karena gagalnya perundingan atau tidak menyampaikan pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi ketenagakerjaan paling lambat 7 hari sebelum hari H, mogok kerja itu bisa dianggap tidak sah. Hal tersebut lebih lanjut diatur dalam Kepmenakertrans No. 232 Tahun 2003  tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah.

Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana diatur dalam Kepmenaker No. 232 Tahun 2003 dikualifikasikan mangkir. Menurut Sahat ketika terjadi mogok kerja, pengusaha bisa melakukan pemanggilan kepada buruh yang mogok untuk kembali bekerja sebanyak 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari secara patut dan tertulis. Bagi buruh yang tidak memenuhi pemanggilan untuk kembali bekerja itu dianggap mengundurkan diri. “Ini sebabnya dalam sejumlah kasus mogok kerja bergeser menjadi pemutusan hubungan kerja (PHK),” urainya.

Perselisihan Hubungan Industrial
Sahat menjelaskan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur ada 4 jenis perselisihan yaitu hak, kepentingan, PHK dan antar serikat buruh. Beberapa jenis perselisihan itu bisa berlanjut pada perundingan antara buruh dan pengusaha. Tapi tidak selamanya perundingan itu berbuah hasil yang diinginkan, bisa jadi tidak mencapai kesepakatan sehingga menjadi alasan bagi buruh untuk melakukan mogok kerja.

Misalnya, antara buruh dan pengusaha berselisih mengenai bonus, sekalipun itu tidak diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tetap bisa diperselisihkan karena masih dalam ranah hukum ketenagakerjaan dan masuk kategori perselisihan kepentingan. Ketika para pihak tidak mencapai kesepakatan, bisa saja buruh melakukan mogok kerja.

Tapi ada juga perselisihan yang bisa terjadi di perusahaan, namun tidak termasuk kategori hubungan industrial. Misalnya, buruh menolak pergantian pimpinan perusahaan, atau meminta pekerja tertentu di-PHK. Jika perselisihan yang tidak masuk ranah hubungan industrial itu berlanjut ke perundingan antara buruh dan pengusaha, kemudian tidak mencapai kesepakatan, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan mogok kerja. “Karena perselisihan seperti itu bukan hukum ketenagakerjaan, bukan hubungan antara pekerja dan pemberi kerja (pengusaha),” papar Sahat.

Sahat melihat pada praktiknya terjadi perundingan antara buruh dan pengusaha walau perselisihan yang ada tidak masuk ranah hubungan industrial. Misalnya, buruh meminta kompensasi karena perusahaan tempat mereka bekerja dijual kepada pihak lain dengan nominal yang besar. Praktik ini terjadi di beberapa perusahaan tambang di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Menurut Sahat, hal ini sebagai kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam praktik hubungan industrial. Persoalan ini bisa diselesaikan buruh dan pengusaha melalui perundingan.

Sebelumnya, advokat sekaligus praktisi hubungan industrial, Kemalsjah Siregar, melihat banyak mogok kerja tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan, ada mogok kerja yang dilakukan bukan dalam ranah perselisihan hubungan industrial. “Ada hal yang sering lupa disadari kalangan buruh, ketika mogok kerja tidak memenuhi syarat maka mereka bisa kehilangan pekerjaan,” tukasnya.

(Baca juga: Upah Bagi Buruh yang Mogok Kerja).

Menurut Kemalsjah mogok kerja biasanya terjadi karena komunikasi antara buruh atau serikat buruh dengan manajemen tidak lancar. Sebagai salah satu cara mengatasi masalah itu UU Ketenagakerjaan sudah mengamanatkan perusahaan untuk membentuk lembaga kerja sama (LKS) bipartit. Sayangnya amanat ini tidak berjalan efektif karena dianggap tidak penting. “Jangan menunda waktu untuk menangani masalah yang diajukan oleh buruh atau serikat buruh,” usulnya.
Tags:

Berita Terkait