Membedah Ambiguitas Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja
Utama

Membedah Ambiguitas Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja

Sebagai langkah awal, pembentuk undang-undang diminta harus mencabut UU Cipta Kerja karena sudah terbukti cacat formil. Lalu, DPR dan Pemerintah segera mengubah keseluruhan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya memasukkan metode omnibus law.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit
Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan pengujian UU Cipta Kerja di ruang sidang MK, Kamis (25/11/2021). Foto: RES
Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan pengujian UU Cipta Kerja di ruang sidang MK, Kamis (25/11/2021). Foto: RES

Setelah setahun berlaku, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja) yang dibacakan Kamis, 25 November 2021 lalu. Putusan itu menyatakan UU Cipta Kerja mengandung cacat formil dalam proses pembentukannya, sehingga DPR dan Pemerintah harus memperbaikinya sesuai tata cara pembentukan undang-undang yang berlaku dalam jangka waktu maksimal 2 tahun.

Atas putusan tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan sejumlah catatan sebagai berikut. Pertama, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja menciptakan ambiguitas terkait konsep inkonstitusional bersyarat. Seperti diketahui, putusan MK dapat menyatakan suatu ketentuan dalam UU sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

Kondisi pertama, konstitusional bersyarat, bermakna suatu ketentuan dinyatakan tetap berlaku selama jangka waktu tertentu hingga tercapainya suatu kondisi baru atau terbentuknya peraturan baru. Kondisi kedua, inkonstitusional bersyarat, bermakna suatu ketentuan dinyatakan tidak berlaku hingga kondisi yang diharapkan sudah tercapai atau peraturan baru yang diinginkan sudah terbentuk.

Namun, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja justru menyatakan UU Cipta Kerja, meskipun inkonstitusional, tetap berlaku selama dua tahun ke depan. MK berpendapat proses pembentukan UU Cipta Kerja dapat diperbaiki dengan tetap mempertahankan keberlakuan UU tersebut. Hal ini menimbulkan ambiguitas karena di satu sisi UU Cipta Kerja telah dinyatakan cacat dalam pembentukannya, tetapi tetap berlaku sebagai dasar hukum yang sah.

“Kondisi ini amat berbahaya dalam pelaksanaannya karena memungkinkan suatu perbuatan hukum dilakukan atas dasar peraturan yang cacat dan telah dinyatakan inkonstitusional. Dalam praktik, sebuah perusahaan yang mengambil kebijakan berdasarkan UU Cipta Kerja dapat dengan mudah digugat karena dianggap telah menggunakan dasar hukum yang cacat,” ujar Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK, Rizky Argama kepada Hukumonline, Jum’at (26/11/2021). (Baca Juga: Dinilai Cacat Formil, MK Putuskan Status Keberlakuan UU Cipta Kerja)

Kedua, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja melahirkan ketidakpastian hukum. Dalam salah satu amarnya, putusan ini menyatakan Pemerintah tidak diperbolehkan membentuk peraturan pelaksana baru sebagai turunan UU Cipta Kerja. Di satu sisi, larangan ini bermaksud mencegah Pemerintah untuk menghasilkan regulasi baru yang didasarkan pada UU yang bermasalah. Namun, di sisi lain, terdapat persoalan mendesak yang semestinya diatur pada tingkat peraturan pelaksana, tetapi kini diliputi ketidakpastian karena tidak memiliki dasar hukum. 

Salah satunya terkait hak penyandang disabilitas. Jaminan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU Bangunan Gedung telah dihapus oleh UU Cipta Kerja dan direncanakan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Namun, akibat larangan membentuk peraturan pelaksana baru tersebut, jaminan aksesibilitas bagi kelompok disabilitas akan menjadi terlanggar karena tidak tersedianya dasar hukum.

Selain melarang pembentukan peraturan pelaksana, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja juga melarang Pemerintah mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas yang didasarkan pada UU Cipta Kerja. Hal ini berpotensi disalahtafsirkan oleh Pemerintah sebagai pengambil kebijakan mengingat putusan MK ini tidak memberikan ukuran ataupun definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan “kebijakan strategis dan berdampak luas”. 

Persoalan akan timbul, misalnya, dalam kaitan kebijakan tentang upah buruh yang didasarkan pada PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Kelompok buruh berpandangan kebijakan pengupahan bersifat strategis dan berdampak luas, sehingga perlu ditangguhkan selama jangka waktu UU Cipta Kerja diperbaiki. Sementara Pemerintah akan berpandangan bahwa PP tersebut merupakan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang lahir sebelum putusan MK, sehingga dapat langsung diterapkan.

Ketiga, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja adalah teguran bagi Pemerintah untuk serius melaksanakan reformasi regulasi. Dalam putusannya, MK meminta Pemerintah untuk memasukkan ketentuan mengenai metode omnibus ke dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal itu harus dilakukan sebagai permulaan sebelum Pemerintah dan DPR menyusun ulang UU Cipta Kerja berdasarkan tata cara yang telah ditetapkan. 

Perintah MK itu sekaligus memberikan kritik terhadap pola pikir Pemerintah yang selama ini memahami reformasi regulasi seolah-olah terbatas pada simplifikasi dan pemangkasan regulasi. Putusan MK ini menjadi ujian penting bagi politik legislasi Pemerintah yang amat mengandalkan “undang-undang omnibus” sebagai satu-satunya strategi yang dipilih dalam melakukan pembenahan regulasi.

Keempat, Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja menegaskan vitalnya partisipasi masyarakat dalam proses legislasi. Kritik publik yang menilai pembentuk UU Cipta Kerja mengabaikan prinsip keterbukaan dan partisipasi semakin dikukuhkan oleh MK. Dalam putusannya, MK menyebutkan keterlibatan masyarakat harus diwujudkan dalam “partisipasi yang bermakna” atau meaningful participation yang tidak hanya terbatas pada unsur keterwakilan ataupun pada apa yang diatur secara normatif dalam undang-undang. Partisipasi yang bermakna itu harus tercermin dalam tahap penyusunan, pembahasan, hingga pengundangan. 

Putusan MK juga menyatakan pembentuk undang-undang perlu menjamin masukan yang substansial dari publik benar-benar dipertimbangkan dalam mengambil keputusan, bukan sekadar didengar secara formalitas. Jangan sampai kegiatan seremonial justru dijadikan dalih bahwa pembuat kebijakan telah menyerap aspirasi tanpa tindak lanjut, sebagaimana terjadi pada banyak produk legislasi belakangan. 

Karena itu, PSHK meminta DPR dan Pemerintah harus mengajukan pencabutan UU Cipta Kerja karena sudah terbukti cacat formil dalam proses pembentukannya. DPR dan Pemerintah segera melakukan perubahan menyeluruh atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak terbatas hanya untuk memasukkan pengaturan yang jelas mengenai penggunaan metode omnibus, tetapi juga untuk memasukkan aturan untuk menciptakan sistem pengelolaan peraturan perundang-undangan yang lebih baik.

“DPR dan Pemerintah harus menunda pembentukan undang-undang serta regulasi pusat maupun daerah yang menggunakan metode omnibus, selama dasar hukum mengenai metode omnibus belum dibentuk.”

Ambigu dan tidak konsisten

Senada, Ahli Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai putusan yang coba mengakomodir berbagai kepentingan dan berusaha mencari jalan tengah, akhirnya Putusan MK menjadi ambigu, terkesan tidak konsisten, justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Akhirnya menjadi sumber munculnya perselisihan dalam implementasinya. Mahkamah pada awalnya terkesan tegas ketika menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak sejalan dengan rumusan baku pembuatan undang-undang.

“Namun, karena alasan memahami alasan obesitas regulasi dan tumpang tindih antar-UU, MK memberi permakluman inkonstitusionalitas itu diberi masa toleransi paling lama 2 tahun. Jika dalam 2 tahun itu tidak dilakukan perbaikan berdasarkan landasan hukum yang baku, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen,” kata Denny saat dikonfirmasi, Sabtu (27/11/2021).

Ambigu pertama, UU Cipta Kerja tegas-tegas dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, masih diberi ruang untuk berlaku selama 2 tahun, diantaranya karena sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan. Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja. “Kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” ujarnya.

Ambigu kedua, berkaitan dengan putusan-putusan yang bersamaan dikeluarkan MK tentang UU Cipta Kerja pada tanggal 25 November 2021. Dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan 11 diantaranya kehilangan objek karena Putusan MK 91/2020 sudah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, bukankah MK masih memberlakukan UU Cipta Kerja maksimal selama 2 tahun?

“UU Cipta Kerja mungkin masih berlaku maksimal 2 tahun ke depan, sehingga objek uji materi seharusnya masih ada, dan menjadi ambigu ketika dikatakan kehilangan objek untuk diuji materi isi UU tersebut,” kritiknya.

Ambigu ketiga, Putusan MK 91/2020 nyata-nyata menyatakan UU Cipta kerja masih berlaku, tapi 11 putusan MK yang lain terkait UU yang sama menyatakan permohonan tidak diterima. Bagaimana mungkin putusan yang masih berlaku tidak boleh diuji materi isinya? Kecuali, Putusan MK 91/2020 tegas-tegas menyatakan UU Cipta Kerja otomatis tidak berlaku sejak dibacakan, tanpa jeda waktu 2 tahun, maka bolehlah dinyatakan telah kehilangan objek.

“Dengan memutuskan tidak menerima semua pengujian materil, apakah itu berarti Putusan MK 91/2020 telah menjadi dasar terjadinya ‘impunitas konstitusi’ bagi norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar UUD 1945?”

Ambigu keempat, karena mencari kompromi yang justru terjebak menjadi tidak tegas, putusan MK menimbulkan multitafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak. Ada dua kubu yang berbeda pendapat. Satu pihak berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam 2 tahun. Pihak lain berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali.

Atas dua pendapat itu, sebenarnya MK telah mencoba memberi kejelasan meskipun masih berlaku, pelaksanaan UU Cipta Kerja yang “strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu. Demikian pula tidak dibenarkan menerbitkan kebijakan “strategis yang dapat berdampak luas”. Lebih jauh, tidak pula dibenarkan membentuk peraturan pelaksana baru.

“Namun, jalan tengah yang ditawarkan MK itu tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan ‘strategis’ dan ‘berdampak luas’?

Ambigu Kelima, dalam Putusan MK 91/2020 ini Mahkamah terlihat sangat kokoh menerapkan formalitas pembuatan undang-undang, termasuk dengan sangat baik mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Cipta Kerja. Namun, sayangnya MK tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formil perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang juga super kilat dan senyatanya menihilkan public participation.

“Terjadi disparitas antara hasil putusan yang teramat jauh. Jika mengacu pada Putusan MK 91/2020, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itupun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kritiknya lagi.

Meski begitu, bagaimanapun Putusan MK 91/2020 sudah final dan berkekuatan hukum tetap (final and binding) dan mau tidak mau harus dihormati. “Sekarang tersisa solusinya untuk pembuat undang-undang (Presiden, DPR, dan DPD) untuk segera melakukan perubahan atas UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan yang mengadopsi metode sapu jagat (omnibus law).

“Ini bisa menjadi landasan baku perbaikan UU Cipta Kerja. Lebih penting lagi, materi UU Cipta Kerja juga harus sesuai dengan aspirasi kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan investasi semata yang menegasikan daulat dan hati rakyat pemilik Republik ini.”

Tags:

Berita Terkait