Mempersoalkan Kewenangan MK Menguji Formil UU
Utama

Mempersoalkan Kewenangan MK Menguji Formil UU

Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja dinilai berpotensi menimbulkan persoalan baru.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpendapat konsekuensi bila putusan MK terkait uji formil dipandang baik bagi perkembangan demokrasi berdasarkan hukum, semestinya ditegaskan dalam konstitusi. Karenanya, perlunya mengamandemen UUD 1945 dengan memberikan penegasan cantolan hukum soal kewenangan MK dalam menguji formil UU.

“Kalau tidak tegas nanti akan menimbulkan persoalan-persoalan, ketika sebuah lembaga memperluas kewenangannya tanpa sisi konstitusionalitas yang jelas,” katanya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Institusi Pemerintahan dalam Negeri (IPDN) Prof Juanda berpandangan perlunya mengamandemen konstitusi dengan memasukan kewenangan MK menguji formil UU. Menurutnya, perlu penegasan agar tidak lagi menjadi pertanyaan soal kewenangan uji formil MK.

Terlepas soal kewenangan MK tersebut, Juanda menilai metode omnibus law memang tidak dikenal dalam UU 12/2011 terlepas klaim DPR telah membahas RUU Cipta Kerja hingga disahkan menjadi UU sesuai prosedur. “Sejak awal saya sudah prediksi akan terjadi begini, dan putusannya cacat formil,” kata dia.

Juanda juga mengkritik putusan MK tersebut. Dia menilai putusan MK tidak konsisten dengan prinsip negara hukum. Dia berpendapat secara disiplin ilmu peraturan perundang-undangan ketika sebuah UU dinilai cacat secara formil, MK semestinya secara substansial memutus secara utuh ketidakberlakuan UU Cipta Kerja. “Lain cerita dengan uji materil. Ini yang saya membingungkan kenapa ini begini putusannya, sudah inkonstitusional, tapi berlaku syarat 2 tahun,” kata dia.

Dia memahami posisi MK bila memutus tidak berlaku secara menyeluruh UU 11/2020 bakal menimbulkan kegaduhan secara ekonomi. Makanya, dia melihat MK boleh jadi mengedepankan asas kemanfaatan, sehingga memberikan kesempatan Pemerintah dan DPR memperbaiki UU 11/2020, meskipun putusan tersebut bertentangan dengan ilmu peraturan perundang-undangan.

Potensi menimbulkan masalah

Lebih lanjut Arsul berpendapat, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 semestinya menyelesaikan masalah, bukan malah menimbulkan masalah baru. Sayangnya, putusan tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru ke depannya. “Buat saya, ini adalah sebuah putusan yang menyelesaikan masalah, tapi potensi mendatangkan masalah, tidak sesuai dengan prinsip pegadaian menyelesaikan masalah tanpa masalah, itu singkatnya,” kata dia lagi.

Sebagai orang berlatar belakang hukum, Arsul paham betul dalam putusan peradilan semestinya menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru di kemudian hari.  Namun lain ceritanya dalam putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang intinya menyatakan inkonstitusional bersyarat yang mengharuskan pembentuk UU memperbaiki prosedur pembentukan UU 11/2020 agar memenuhi syarat formil.

Arsul beralasan bila pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU telah memperbaiki UU 11/2020 sebagaimana amanat putusan MK tersebut, boleh jadi UU Cipta Kerja bakal kembali diuji secara materil oleh masyarakat yang merasa tidak puas. Arsul menilai MK dalam putusannya sekaligus menguji formil dan materilnya, tidak secara terpisah. Pembentuk UU sekalipun harus memperbaiki atau mengganti UU hanya satu kali pekerjaan serta tidak menimbulkan potensi masalah baru.

“Nanti jangan-jangan formilnya sudah benar, kemudian materinya diuji dikabulkan. Artinya putusan itu sebagai keputusan atau tidak mengikuti prinsip menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait