Mempersoalkan Kewenangan MK Menguji Formil UU
Utama

Mempersoalkan Kewenangan MK Menguji Formil UU

Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja dinilai berpotensi menimbulkan persoalan baru.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua MPR Arsul Sani usai acara webinar bertajuk 'Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK', di Komplek Gedung Parlemen, Senin (29/11/2021). Foto: RFQ
Wakil Ketua MPR Arsul Sani usai acara webinar bertajuk 'Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK', di Komplek Gedung Parlemen, Senin (29/11/2021). Foto: RFQ

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil terhadap UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bersifat final dan mengikat. Beragam pandangan terhadap putusan MK tersebut menjadi koreksi bagi semua pihak. Termasuk kewenangan MK dalam pengujian formil UU.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani berpandapat dalam konstitusi tidak secara tegas mengatur kewenangan MK menguji formil sebuah UU. Menurut Arsul, putusan MK menguji formil UU 11/2020 dengan batu ujinya UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No.15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menunjukan ketidaktaatan MK terhadap konstitusi.

Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD  1945 menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Rumusan norma tersebut tentu MK bakal mengklaim dapat menguji formil sebuah UU. Namun bagi Arsul, kewenangan pengujian formil UU semestinya batu ujinya adalah UUD 1945, bukan malah UU 12/2011 sebagaimana diubah UU 15/2019. Menurutnya, tindakan MK tersebut menjadi pertanyaan. “Intinya, kita mempertanyakan apa MK punya kewenangan uji formil atau tidak?” ujar Arsul dalam sebuah diskusi kebangsaan bertajuk “Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK” di Komplek Gedung Parlemen, Senin (29/11/2021).

Dia mempertanyakan saat membentuk MK, kewenangan menangani pengujian formil dan materil atau sebatas pengujian materil. Bila dalam original intent pada BP MPR terdahulu yang tergabung dalam panitia ad hoc memberikan kewengan uji formil menjadi tak masalah, sehingga putusan uji formil menjadi konstitusional. Sebaliknya, bila saat pembentukan MK hanya memberi kewenangan uji materil, putusan uji formil menjadi persoalan.

“Ini harus kita kritisi MK. Jadi jangan karena putusannya itu baik, memenuhi harapan publik, kemudian dari sistem dan struktur ketatanegaraan kita, itu agak melenceng atau ada keluar,” kata dia. (Baca Juga: Pembentuk UU Diminta Perbaiki Substansi UU Cipya Kerja)

Arsul pun menelusuri dokumen naskah komprehensif perubahan konstitusi bab kekuasaan kehakiman, termasuk rekaman saat pembahasan amandemen pertama sampai keempat. Hasil temuannya, kewenangan yang diberikan ke MK hanya pengujian materil UU terhadap UUD 1945. Karenanya, Arsul menilai kewenangan MK menguji formil UU menjadi pertanyaan.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpendapat konsekuensi bila putusan MK terkait uji formil dipandang baik bagi perkembangan demokrasi berdasarkan hukum, semestinya ditegaskan dalam konstitusi. Karenanya, perlunya mengamandemen UUD 1945 dengan memberikan penegasan cantolan hukum soal kewenangan MK dalam menguji formil UU.

“Kalau tidak tegas nanti akan menimbulkan persoalan-persoalan, ketika sebuah lembaga memperluas kewenangannya tanpa sisi konstitusionalitas yang jelas,” katanya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Institusi Pemerintahan dalam Negeri (IPDN) Prof Juanda berpandangan perlunya mengamandemen konstitusi dengan memasukan kewenangan MK menguji formil UU. Menurutnya, perlu penegasan agar tidak lagi menjadi pertanyaan soal kewenangan uji formil MK.

Terlepas soal kewenangan MK tersebut, Juanda menilai metode omnibus law memang tidak dikenal dalam UU 12/2011 terlepas klaim DPR telah membahas RUU Cipta Kerja hingga disahkan menjadi UU sesuai prosedur. “Sejak awal saya sudah prediksi akan terjadi begini, dan putusannya cacat formil,” kata dia.

Juanda juga mengkritik putusan MK tersebut. Dia menilai putusan MK tidak konsisten dengan prinsip negara hukum. Dia berpendapat secara disiplin ilmu peraturan perundang-undangan ketika sebuah UU dinilai cacat secara formil, MK semestinya secara substansial memutus secara utuh ketidakberlakuan UU Cipta Kerja. “Lain cerita dengan uji materil. Ini yang saya membingungkan kenapa ini begini putusannya, sudah inkonstitusional, tapi berlaku syarat 2 tahun,” kata dia.

Dia memahami posisi MK bila memutus tidak berlaku secara menyeluruh UU 11/2020 bakal menimbulkan kegaduhan secara ekonomi. Makanya, dia melihat MK boleh jadi mengedepankan asas kemanfaatan, sehingga memberikan kesempatan Pemerintah dan DPR memperbaiki UU 11/2020, meskipun putusan tersebut bertentangan dengan ilmu peraturan perundang-undangan.

Potensi menimbulkan masalah

Lebih lanjut Arsul berpendapat, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 semestinya menyelesaikan masalah, bukan malah menimbulkan masalah baru. Sayangnya, putusan tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru ke depannya. “Buat saya, ini adalah sebuah putusan yang menyelesaikan masalah, tapi potensi mendatangkan masalah, tidak sesuai dengan prinsip pegadaian menyelesaikan masalah tanpa masalah, itu singkatnya,” kata dia lagi.

Sebagai orang berlatar belakang hukum, Arsul paham betul dalam putusan peradilan semestinya menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru di kemudian hari.  Namun lain ceritanya dalam putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang intinya menyatakan inkonstitusional bersyarat yang mengharuskan pembentuk UU memperbaiki prosedur pembentukan UU 11/2020 agar memenuhi syarat formil.

Arsul beralasan bila pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU telah memperbaiki UU 11/2020 sebagaimana amanat putusan MK tersebut, boleh jadi UU Cipta Kerja bakal kembali diuji secara materil oleh masyarakat yang merasa tidak puas. Arsul menilai MK dalam putusannya sekaligus menguji formil dan materilnya, tidak secara terpisah. Pembentuk UU sekalipun harus memperbaiki atau mengganti UU hanya satu kali pekerjaan serta tidak menimbulkan potensi masalah baru.

“Nanti jangan-jangan formilnya sudah benar, kemudian materinya diuji dikabulkan. Artinya putusan itu sebagai keputusan atau tidak mengikuti prinsip menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait