Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan
Utama

Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung berimbas pada keberadaan debtcolletor. Pada dasarnya pengadilan memberikan pedoman penagihan utang secara benar dan beradab.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Hakim Mahkamah Konstitusi, Enny Nurbaningsih, memberikan penegasan kepada hukumonline bahwa UU Jaminan Fidusia tidak memberikan kejelasan kapan cidera janji itu dihitung dan siapa yang berwenang menentukan telah terjadi cidera janji.

Jika mengikuti praktik yang terjadi selama ini, eksekusi jaminan fidusia oleh debtcollector di lapangan, acapkali menimbulkan kesewenang-wenangan, penarikan kendaraan misalnya tidak disertai bukti-bukti terjadinya cidera janji.

Mahkamah Konstitusi berada dalam posisi menginginkan kejelasan kapan terjadinya cedera janji. “Dalam pertimbangan putusan MK itgu sudah jelas bahwa cidera janji harus dibuat para pihak. Kalau para pihak tidak sepakat harus ada upaya hukum melalui putusan pengadilan,” jelasnya kepada hukumonline.

(Baca juga: MK: Eksekusi Jaminan Fidusia untuk Menghindari Kesewenangan Debitur).

Pemohon pengujian UU Jaminan Fidusia adalah suami isteri warga Bekasi. Tetapi jumlah orang yang merasa dirugikan oleh penarikan paksa bendera bergerak oleh debtcollector di jalanan lebih dari dua orang. Data yang masuk ke YLKI mungkin dapat dijadikan rujukan. Pada 2019, YLKI menerima 1.871 aduan terdiri dari 563 aduan individual, dan 1.308 kasus kolektif atau kelompok. Ternyata, pengaduan konsumen atas produk jasa finansial mencapai 46,9 persen), yang meliputi lima komoditas yakni bank, uang elektronik, asuransi, leasing, dan pinjaman daring. Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, melihat data sebagai gambaran pengawasan oleh otoritas yang masih bermasalah, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebenarnya, OJK sudah menaruh perhatian juga pada persoalan ini. Setidaknya, dapat dibaca dari Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Peraturan ini selain mengatur mitigasi risiko, juga mengatur cara penagihan. Misalnya ditentukan penagihan dilakukan minimal dilakukan dengan surat peringatan. Dalam penagihan, perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerjasama dengan pihak ketiga untuk melakukan fungsi penasihan. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa perusahaan pembiayaan tidak dapat melepaskan tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.

Putusan MA: Hindari Intimidasi dan Premanisme

Dalam perspektif hukum perlindungan konsumen, Abustan, menilai positif putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan ini setidaknya mendorong perusahaan pembiayaan, bank, dan pihak-pihak terkait untuk melakukan penataan terkait penagihan utang, termasuk menggunakan jasa pihak ketiga (debtcollector). “Masalah yang membelit konsumen tersebut menimbulkan pertanyaan tentang tata kelola penasihan yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui peran debtcollector yang dianggap sudah tidak on the track lagi secara hukum. Bahkan dalam praktek kita jumpai sudah di luar batas kemanusiaan,” paparnya kepada hukumonine.

Pernyataan Abustan tentang pentingnya melalui jalur hukum secara benar ketika menagih utang atau kredit sebenarnya tak hanya tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga Mahkamah Agung. Jauh sebelum Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan tentang Pasal 15 ayat (2) dan (ayat (3) UU Jaminan Fidusia, Mahkamah Agung sudah memberikan ‘warning’ kepada pelaku usaha yang melakukan penagihan kredit melalui cara-cara intidasi dan premanisme.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait