Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan
Utama

Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung berimbas pada keberadaan debtcolletor. Pada dasarnya pengadilan memberikan pedoman penagihan utang secara benar dan beradab.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Pada Oktober 2013 lalu, Mahkamah Agung pernah menghukum bank dan pihak lain yang digugat untuk membayar secara renteng ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp1 miliar. Para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum ketika melakukan penagihan kredit dengan cara-cara teror dan intimidasi. Dalam pertimbangan majelis hakim kasasi yang memutus perkara No. 3192K/Pdt/2012 itu dapat diangkat suatu kaidah hukum. “Bahwa tindakan Tergugat I dalam melakukan penagihan kredit adalah tindakan tidak professional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank, dan oleh karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat yang lebih berat”.

Sukarela atau tidak?

Masalah kesukarelaan debitor untuk menyerahkan barang yang menjadi objek jaminan fidusia juga disinggung dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah menyatakan jika debitor selaku pemberi hak fidusia mengakui adanya cidera janji dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditor) untuk melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).

Sebaliknya, jika debitor tidak mengakui adanya cidera janji atau wanprestasi dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka kreditor tidak boleh melakukan eksekusi sendiri. Menurut Mahkamah kreditor harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi ke pengadilan negeri. “Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang,” demikian antara lain pertimbangan Mahkamah Konstitusi.

Berkaitan dengan masalah ini, menurut Abustan, pelajaran penting yang dapat ditarik adalah bahwa siapapun tidak boleh sembarangan dan secara sepihak tanpa bukti menuduh seseorang melakukan kesalahan, atau dalam konteks ini cidera janji. “Untuk mengatakan apakah seseorang bersalah atau tidak, haruslah melalui putusan pengadilan. Itulah makna esensial putusan Mahkamah,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait