Menanti "Karya Agung" Hukum Acara dan Pidana Indonesia
Fokus

Menanti "Karya Agung" Hukum Acara dan Pidana Indonesia

Rumusan pasal dalam RKUHAP masih menuai polemik, seperti hilangnya tahapan penyelidikan. Begitu pula dengan rumusan pasal dalam RKUHP.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Ruang Komisi III DPR, Rabu 6 Maret 2013, menjadi saksi bisu penyerahan draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pemerintah kepada DPR. Keinginan memiliki rujukan hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia diharapkan dapat segera terwujud.

Upaya melakukan revisi KUHAP dan KUHP sebagai hal mendasar dalam melaksanakan hukum acara dan pemberian sanksi pemidanaan. Pembahasan RKUHAP dan RKUHP pun sejatinya diharapkan dapat memberi kejelasan ruang lingkup aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya dalam penegakan hukum.

Berbeda dengan KUHAP dan KUHP yang kini digunakan, RKUHAP dan RKUHP lebih mengedepankan pendekatan hak asasi manusia. Bukan menjadi rahasia umum, sejumlah perkara perdata kemudian ditarik ke ranah pidana. Hal itu pula menjadi salah satu bagian pergeseran dalam praktik hukum yang menyimpang. Itu sebabnya, dibutuhkan pengawasan dengan hadirnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) sebagaimana tertuang dalam Bab IX Pasal 111 hingga Pasal 122 RKUHAP.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan, penyusunan draf RKUHAP dan RKUHP dirancang dalam membantu proses penegakan hukum yang berkeadilan dan mendapatkan kepastian hukum bagi masyarakat. Sebagaimana diketahui, KUHAP dan KUHP yang digunakan saat ini merupakan peninggalan kolonial Belanda puluhan tahun  silam.

Dengan adanya RKUHAP dan RKUHP, diharapkan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan pengawasan. Tidak serta merta dapat dengan begitu saja menjadikan seseorang menjadi tersangka, tetapi harus melalui mekanisme yang diatur dalam RKUHAP. Misalnya, keberadaan hakim pemeriksa pendahuluan. Dengan demikian, sisi hak asasi manusia seseorang tetap terjaga seperti hak asasi saksi, tersangka terdakwa, hingga terpidana harus tetap dikedepankan. Selain itu, RKUHAP juga mengatur keberadaan saksi mahkota.

RKUHAP tentunya akan mengikuti perkembangan hukum nasional dan internasional. Selain itu, RKUHAP mampu membentuk integrated justice system antar penegak hukum. Dengan begitu, nantinya RKUHAP dapat mengakomodir restoratif justice. Dengan demikian, kata Amir, RKUHAP dan RKUHP menjadi pedoman utama terhadap UU lainnya.

Setidaknya, terdapat 285 pasal dalam draf RKUHAP dan 766 pasal dalam RKUHP. Pembahasan kedua ‘karya agung’ hukum acara dan pidana itu tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perdebatan antara pemerintah dan DPR berlangsung sengit. Belum lagi pandangan dari masyarakat terkait pasal-pasal yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Misalnya, masih dicantumkannya pasal penghinaan, pencemaran nama baik yang dinilai sebagai pasal karet.

DPR pada prinsipnya memaklumi ada pro dan kontra sejumlah pasal dalam RKUHAP dan RKUHP. Anggota Komisi III Eva Kusuma Sundari mengatakan, revisi terhadap KUHAP dan KUHP merespon kebutuhan masyarakat dalam penegakan hukum. Bukan menjadi rahasia umum, banyak rekayasa kasus dalam proses hukum di tingkat penyidikan dan penuntutan. Setidaknya, revisi KUHAP menjadi momentum melakukan pengawasan terhadap penyidik sebagai pintu awal dalam proses hukum.

Politisi PDIP itu berpendapat terhadap pembahasan RKUHAP dan RKUHAP tidak tertutup kemungkinan masyarakat dapat memberikan masukan. Soalnya, RKUHAP dan RKUHP diberlakukan bagi masyarakat. Lebih jauh ia menuturkan RKUHAP dan RKUHP sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan negara yang sedemikian besar. Oleh sebab itu, RKUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim sebagai lembaga penegak hukum agar memberikan keadilan dalam proses hukum.

“Kami sangat gembira dengan perubahan KUHAP dan KUHP,” ujarnya.

Dalam perjalanannya, Komisi III telah membentuk Panja RKUHAP dan RKUHP. Bersama dengan pemerintah pembahasan RKUHAP dan RKUHP berjalan. Anggota Komisi III dari Fraksi Hanura Sarifuddin Sudding mengatakan, penantian panjang masyarakat terhadap hukum acara dan pidana murni produk nasional. Sebagai induk dari sejumlah UU, RKUHAP dan RKUHP mesti dilakukan harmonisasi dengan perkembangan hukum nasional.

Anggota Tim Perumus RKUHP Chaerul Huda mengatakan, pembuatan kedua karya agung itu sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Misalnya, dalam RKUHP memberlakuan hukum yang hidup di tengah masyarakat, seperti hukum yang masih berlaku di adat. “Pembuatan RKUHAP dan RKUHP ini sesuai dengan Indonesia memberlakukan hukum yang hidup di masyarakat,” katanya.

Selain itu pendekatan HAM. Menurut Chaerul, aparat penegak hukum tidak serta dapat melakukan penahanan. Begitu pula tidak sembarang dapat menetapkan tersangka. Pasalnya pengawasan proses hukum dilakukan oleh hakim pemeriksa pendahuluan.

Hilangnya Penyelidikan
Draf RKUHAP dan RKUHP yang disusun pemerintah menuai polemik. Misal, dalam RKUHAP dalam Pasal 1 tidak menyebutkan adanya tahap penyelidikan, tetapi hanya penyidikan. Bagi Kepolisian dan KPK, dihilangkannya penyelidikan justru akan memperlemah proses hukum. Padahal, penyelidikan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana, sekaligus mengumpulkan alat bukti.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar berpendapat, peniadaan penyelidikan akan memperlemah posisi KPK, misalnya yang tidak memiliki penghentian penyidikan. Berbeda halnya dengan kepolisian dan kejaksaan, KPK dalam menentukan perkara naik ke tingkat penyidikan memerlukan alat bukti yang cukup. Begitu pula operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK dilakukan pada tahap penyelidikan.

Pasal 1 angka (1) RKUHAP menyebutkan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menentukan tersangkanya”. Rumusan pasal tersebut, pendek kata, menghilangkan proses penyelidikan. Padahal, proses penyelidikan untuk menentukan apakah laporan maupun aduan pelapor merupakan tindak pidana atau bukan.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanudin (Unhas), Prof Said Karim, mengamini pandangan Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, penyelidikan dalam proses hukum menjadi hal mendasar. Hilangnya penyelidikan dalam RKUHAP boleh jadi menjadi ancaman dalam proses penegakan hukum.

Institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan menghentikan penyidikan seperti kepolisian dan kejaksaan bukan tidak mungkin akan sering menerbitkan surat penghentian penyidikan. “Kalau tidak ada penyelidikan, siap-siap penegak hukum kita akan sering mengeluarkan SP3. SP3 ini dibenci orang, tapi halal,” ujarnya.

Kepala Biro Penyusun dan Penyuluhan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri, Brigjen Pol Bambang Sri Herwanto keukeuh lembaganya meminta penyelidikan dimasukan dalam rumusan pasal RKUHAP. Menurutnya, penyelidikan tidak dapat dibatasi oleh waktu. Penyelidikan sejatinya upaya proses hukum dalam rangka memperkuat fungsi penyidikan.

“Kalau distop mau diapakan perkara itu?. Kalau dihentikan tidak ada terungkap. Kami dari Polri tetap berharap penyelidikan dimasukan dalam RKUHAP,” ujarnya.

Pemerintah dan DPR telah menampung berbagai masukan dari sejumlah pakar hukum acara pidana maupun pemangku kepentingan. Namun, pembahasan terhadap RKUHAP dihentikan sejenak. Termasuk belumnya dibahas Pasal 1 ayat (1) RKUHAP. Pasalnya, RKUHAP merupakan rujukan hukum acara pidana. Maka dari itu, RKUHAP nantinya perlu pembahasan mendalam mengingat masih belum rampungnya sejumlah Revisi Undang-Undang (RUU), seperti RUU Kejaksaan, Mahkamah Agung, Advokat, dan Polri.

Hentikan Pembahasan
Dalam pembahasan, DPR menyerahkan sebanyak 704 Daftar Isian Masalah (DIM) dalam RKUHP buku ke-1. Sedangkan dalam RKUHP buku ke-2, DPR menyerahkan 1596 DIM. Lantas dalam RKUHAP sebanyak 1169 DIM. Waktu yang dimiliki anggota dewan bisa dibilang sempit mengingat masa kerja anggota periode 2009-2014 akan berakhir. Hal itu menjadi salah satu alasan desakan penghentian pembahasan. Anggota dewan dinilai akan lebih fokus mengamankan ‘kursi’ dewan dengan mencalonkan kembali menjadi Caleg periode 2014-2019.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Susanto Ginting, pembahasan RUU tidak akan fokus mengingat sempitnya masa kerja anggota dewan tahun ini. Selain melakukan kampanye di Dapil masing-masing Caleg, beban pembahasan DIM RKUHAP dan RKUHP sedemikian banyak dan kompleks. Apalagi, pembahasan ini melibatkan banyak pemangku kepentingan.

Pandangan sama diungkapkan Siti Aminah. Program Officer Indonesia Legal Resource Center (ILRC) itu berpendapat, atmosfer politik 2014 menyita perhatian DPR. Atas dasar itu, pembahasan RKUHAP tak perlu dipaksakan untuk dilakukan pembahasan. Sebaliknya jika tetap dipaksakan, toh tak akan maksimal. Dikhawatirkan, kualitas RKUHAP yang dihasilkan pemerintah dan DPR akan buruk.

Alasan lainnya adalah minimnya pastisipasi masyarakat dalam pembahasan RKUHAP. Dalam pembahasan sebuah RUU yang fundamental, RKUHAP akan berdampak pada masyarakat. Itu sebabnya, idealnya pembahasan RKUHAP tetap melibatkan unsur masyarakat. Hal lainnya, masyarakat sulit mendapatkan DIM RKUHAP sebagai dasar dalam melakukan pemantauan perkembangan pembahasan RKUHAP. Alasan-alasan itulah yang dijadikan dasar desakan penghentian pembahasan RKUHAP.

Anggota Panja RKUHAP Nudirman Munir menuturkan penghentian pembahasan RKUHAP bukan menjadi ranah Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana, melainkan menjadi ranah DPR dan pemerintah. Dikatakan Nudirman, pemerintah dan DPR telah bersepakat melakukan pembahasan hingga rampung. Menurutnya, pembahasan RKUHAP dilakukan terbuka agar masyarakat dapat melakukan pemantauan perkembangan. Namun, khusus konsinyering dilakukan tertutup.

Anggota Panja RKUHAP lainnya Harry Witjaksono menambahkan, sepanjang pembahasan, setidaknya sudah ratusan DIM yang telah disepakati. Namun DIM tersebut yang bersifat tidak substantif. Sedangkan DIM yang bersifat substantif belum dilakukan pembahasan, seperti penyelidikan yang menjadi bagian dari penyidikan. Begitu pula pasal kewenangan melakukan penyadapan.

Taslim, anggota Panja dari Fraksi PAN menambahkan anggota dewan yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif periode mendatang, bukan menjadi alasan tidak melakukan pembahasan. Pasalnya, DPR dan pemerintah bekomitmen segera merampungkan pembahasan RKUHAP. Kampanye, kata Taslim, dapat dilakukan di penghujung pekan.

Terlepas pro kontra pembahasan RKUHAP dan RKUHP, masyarakat kini menanti karya agung hukum acara dan pidana Indonesia, yakni proses penegakan hukum yangmenggunakan pendekatan HAM.
Tags:

Berita Terkait