Mendorong Revisi UU PPHI Segera Masuk Prolegnas 2021
Utama

Mendorong Revisi UU PPHI Segera Masuk Prolegnas 2021

UU PPHI dinilai belum mampu mewujudkan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah. Kementerian Ketenagakerjaan terus mengumpulkan masukan dari berbagai pihak terkait rencana revisi UU PPHI.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Awalnya, mekanisme penyelesaian perselisihan yang diatur UU No.2 Tahun 2004 dianggap prosesnya cepat sekitar 4 bulan, tapi ternyata praktiknya bisa lebih dari 2 tahun. Payaman mencatat beberapa persoalan dalam penyelesaian perselisihan melalui UU No.2 Tahun 2004 antara lain proses kasasi di MA membutuhkan waktu yang sangat lama, hak pekerja selama menunggu putusan inkracht tidak jelas, dan putusan yang sudah inkracht sulit dieksekusi.

Ketua Umum DPP ILLCA/HKHKI, Ike Farida, mengatakan organisasinya sudah memberi masukan kepada DPR pada Juli 2020 lalu terkait revisi UU No.2 Tahun 2004. Sayangnya, dari pemberitaan media Ike melihat UU No.2 Tahun 2004 dicabut dari daftar Prolegnas Prioritas. Menurutnya, revisi ini penting mengingat UU No.2 Tahun 2004 belum mengakomodir banyak perkembangan di sektor ketenagakerjaan, misalnya hukum acara yang digunakan belum mengatur tegas tentang peninjauan kembali (PK). “Kami dukung revisi UU No.2 Tahun 2004,” tegasnya.

Terus meminta masukan

Hakim Ad Hoc Hubungan Industrial MA, Sugeng Santoso, menilai sistem PHI cenderung mencontoh penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan di Jerman dimana mekanisme penyelesaian perselisihan harus melewati beberapa tahapan. Bedanya, PHI di Indonesia berada dalam ranah pengadilan umum, tapi di Jerman bentuknya khusus dan terpisah dari pengadilan umum.

“Karena PHI mempunyai aspek publik, pidana, administratif, dan perdata, maka kenapa tidak dibuat terpisah dari peradilan umum,” usulnya.

Plt Dirjen PHI dan Jamsos, Haiyani Rumondang, mengaku sudah mengumpulkan berbagai masukan dan informasi terkait implementasi UU No.2 Tahun 2004. Pada intinya dari semua informasi yang dikumpulkan tidak ada yang menilai UU No.2 Tahun 2004 berjalan baik mulai dari mekanisme gugatan, persidangan, dan eksekusi yang sulit.

“Kementerian Ketenagakerjaan berkepentingan agar ini (UU No.2 Tahun 2004,-red) direvisi. Kami terus mengumpulkan berbagai masukan, sehingga kita siap ketika nanti revisi bergulir (di DPR, red),” kata Haiyani.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, berpendapat UU No.2 Tahun 2004 layak direvisi. Dia mengusulkan perselisihan hak tidak perlu masuk dalam jenis perselisihan karena yang diperlukan justru pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran. Timboel mencontohkan setiap menangani perkara yang berkaitan dengan perselisihan hak, misalnya upah minimum petugas pengawas cenderung menyelesaikannya melalui jalur penyelesaian perselisihan hubungan industrial, bukan melakukan penindakan.

Untuk menghindari adanya putusan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard), Timboel mengusulkan ada mekanisme dismissal process seperti di pengadilan tata usaha negara (TUN). Kemudian harus ada hukum acara khusus PHI. “UU No.2 Tahun 2004 sering masuk Prolegnas, tapi tidak pernah tuntas. Kami berharap UU ini bisa segera direvisi,” pintanya.

Komite Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kadin, Darwoto, mengusulkan revisi UU No.2 Tahun 2004 dilakukan setelah RUU Cipta Kerja terbit. Menurutnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi hukum materil penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadi salah satu dari puluhan UU yang bakal diubah dalam RUU Cipta Kerja.

“Akan ada perubahan mendasar dalam UU Ketenagakerjaan. Setelah RUU Cipta Kerja diketok (disahkan, red) UU No.2 Tahun 2004 perlu dimasukan dalam prolegnas prioritas,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait