Mengenali 4 Jenis PHK dalam Hubungan Industrial
Utama

Mengenali 4 Jenis PHK dalam Hubungan Industrial

Meliputi PHK yang bersifat demi hukum; karena melanggar aturan; PHK sepihak; dan kondisi tertentu. Setiap jenis PHK menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda-beda dalam hal besaran pesangon.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Baik UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta, serta peraturan turunannya mengamanatkan semua pihak mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam setiap hubungan industrial di perusahaan. Setelah semua upaya sudah dilakukan, PHK tidak dapat dihindari, maka ada sejumlah ketentuan yang diperhatikan.

Praktisi Hukum Ketenagakerjaan yang juga mantan Hakim Ad Hoc PHI Pengadilan Negeri Jakarta Pusat periode 2006-2016, Juanda Pangaribuan, mengatakan ada 4 jenis PHK sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja. Pertama, PHK yang sifatnya demi hukum, misalnya pekerja/buruh meningal dunia, pensiun, atau permohonan perusahaan untuk mem-PHK pekerja ditolak pengadilan hubungan industrial (PHI) karena tidak terbukti.

Kedua, PHK karena melanggar perjanjian kerja (PK)/perjanjian kerja bersama (PKB)/peraturan perusahaan (PP)/Undang-Undang (UU). Misalnya pekerja/buruh melakukan pelanggaran setelah diterbitkan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga.

Juanda mengingatkan perubahan UU Ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja mengatur surat peringatan harus diterbitkan secara berurutan dari pertama sampai ketiga, tidak boleh langsung menerbitkan surat peringatan ketiga. Atau bisa juga PHK karena melanggar surat peringatan pertama dan terakhir (SPPT) karena pekerja melakukan pelanggaran berat atau mendesak tanpa pesangon.   

“Melalui SPPT bisa dilakukan PHK untuk pelanggaran bersifat berat atau mendesak. Dalam Pasal 52 ayat (2) PP No.35 Tahun 2021 ini disebut pelanggaran yang bersifat mendesak,” kata Juanda dalam diskusi yang diselenggarakan Hukumonline secara daring bertema “Tata Cara Melakukan PHK dan Penyelesaian Hubungan Industrial”, Senin (30/8/2021).

Pasal 52 ayat (2) PP No,35 Tahun 2021 menyebutkan Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama maka Pekerja/Buruh berhak atas:

a. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan

b. uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.”

Ketiga, PHK sepihak. Juanda menyebut yang masih kategori PHK sepihak antara lain pekerja/buruh yang dikualifikasikan mengundurkan diri, misalnya tidak masuk 5 hari berturut-turut tanpa alasan. Atau PHK yang dilakukan perusahaan dengan melanggar mekanisme dan alasan PHK sebagaimana diatur dalam PK/PKB/PP/UU. “PHK sepihak ini bisa juga karena kemauan perusahaan, bukan karena aturan,” ujarnya.

Menurut Juanda, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya memberikan peluang besar bagi pengusaha untuk melakukan PHK sepihak. Dalam melakukan PHK, UU Cipta Kerja memandatkan kepada pengusaha hanya perlu memberitahukan alasan PHK itu kepada pekerja/buruh. Berbeda dari ketentuan UU Ketenagakerjaan sebelum diubah UU Cipta Kerja yang mengharuskan ada penetapan lembaga penyelesaian hubungan industrial sebelum melakukan PHK.

“Sebelumnya kalau tidak ada penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) itu PHK-nya batal demi hukum,” lanjutnya.

Keempat, PHK karena kondisi tertentu, misalnya pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan, atau perusahaan pailit, melakukan efisiensi atau mengalami kerugian. Juanda mengatakan setiap jenis PHK itu memunculkan konsekuensi hukum yang berbeda dalam hal pembayaran kompensasi atau pesangon, bahkan ada yang tidak mendapat pesangon.

Misalnya, untuk PHK karena pelanggaran berat atau mendesak, maka tidak berhak atas pesangon dan penghargaan masa kerja, tapi hanya mendapat uang penggantian hak dan uang pisah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 ayat (2) PP No.35 Tahun 2021 itu.   

Potensi risiko bagi pengusaha

Juanda mengingatkan ada 4 potensi risiko bagi pengusaha yang melakukan PHK. Pertama, alasan PHK dinyatakan tidak terbukti di pengadilan, maka hakim yang menangani perkara bisa memutus pekerja dipekerjakan kembali atau pengusaha dihukum membayar pesangon. Karena itu, alasan PHK harus tervalidasi sesuai dengan fakta yang terjadi.

Kedua, PHK batal demi hukum, sehingga konsekuensinya pekerja/buruh harus dipekerjakan kembali. Ketiga, pengusaha dilaporkan pidana oleh pekerja/buruh dengan tuduhan pencemaran nama baik. Misalnya, ada kesalahan yang dilakukan pengusaha dalam menyebut alasan PHK. Keempat, pengusaha terancam pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun jika tidak membayar pesangon yang diputus pengadilan.

Juanda menjelaskan tak melulu yang berhak mengakhiri hubungan kerja itu hanya pengusaha. Dia mengatakan ada 3 pihak yang bisa mengakhiri hubungan kerja. Pertama, pengusaha yakni dengan melakukan PHK sebelum pekerja/buruh pensiun, seperti melanggar PP/PKB. Kedua, pekerja mengundurkan diri atau mengajukan gugatan permohonan PHK. Ketiga, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) melalui gugatan yang diajukan pihak pengusaha/pekerja hingga putusan putusan berkekuatan hukum tetap.

Tags:

Berita Terkait