Menggugat Janji Manis Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Kolom

Menggugat Janji Manis Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Minimnya akses JKP, berpotensi hanya jadi gula-gula yang tidak dapat menjawab kebutuhan buruh.

Oleh:
Jumisih
Bacaan 7 Menit

Permenaker 2/2022 dikeluarkan sebagai respon adanya program JKP. Menteri Tenaga Kerja percaya diri mengeluarkan Permenaker 2/2022 karena ada bantalan berupa JKP, sehingga terdapat keterhubungan antara JKP dengan Permenaker 2/2022. Meskipun Permenaker 2/2022 bukan turunan langsung dari UU Cipta Kerja, namun berkaitan dengan JKP dan berdampak luas kepada pekerja di Indonesia, sehingga Permenaker ini jelas bermasalah.

JKP diperuntukkan bagi buruh pada segmen penerima upah (PU) yang terdaftar BPJS dan membayar iuran. Sesuai dengan PP 37/2021, iuran JKP sebesar 0,46% dari upah perbulan yang dilaporkan perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuannya adalah 0,22% dari upah sebulan ditanggung pemerintah pusat; 0,14% dari upah sebulan ditanggung dari rekomposisi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); dan 0,10% dari upah sebulan bersumber dari iuran program Jaminan Kematian (JKM). Artinya, JKP dianggarkan dari iuran buruh sendiri.

JKP diharapkan memberi manfaat tunai dengan perhitungan 45% dari upah terakhir dibayarkan 3 bulan pertama, dan 25% pada 3 bulan berikutnya sehingga total manfaat 6 bulan. Jika setelah itu belum mendapatkan pekerjaan kembali maka kondisi buruh akan semakin terpuruk dalam bertahan hidup. Karena tidak ada jaminan dalam rentang waktu 6 bulan buruh mendapat pekerjaan kembali. Sementara untuk memulai usaha, jelas pilihan sulit karena nominal JKP kecil, hanya 45% atau 25% dari upah. Nominal ini bahkan sulit untuk pemenuhan kebutuhan dasar buruh seperti makanan, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya.

Masalah lain adalah, buruh kontrak (PKWT) yang selesai masa kontraknya, tidak termasuk dalam kategori yang dapat mengklaim JKP. Padahal mayoritas buruh menyandang status kontrak dan alih daya yang tidak mempunyai kepastian kerja. Habis kontrak bukanlah PHK menurut Pasal 154A UU 11/2020, pasal 36 PP 35/2021, dan Pasal 20 ayat 2 PP 37/2021.

Sejak sistem kerja kontrak dan alih daya dilegalkan, mayoritas buruh Indonesia tidak selamat dari sistem yang melonggarkan kepastian kerja ini. Buruh bisa bekerja hanya 3 bulan, 6 bulan atau bahkan 1 minggu. Dengan pola sedemikian fleksibel, jelas sulit memastikan buruh terdaftar sebagai peserta BPJS apalagi peserta JKP. Padahal, klaim JKP harus memenuhi masa kepesertaan 12 bulan mengiur dalam jangka 24 bulan terakhir, dimana 6 bulan dari 12 bulan masa iur dibayar berturut-turut.

Iming-iming soal akses informasi pasar kerja dan bimbingan pelatihan dalam JKP seolah jadi bumbu sedap untuk memperoleh pekerjaan. Dalam praktiknya buruh yang mengakses Kartu Prakerja saja, tidak punya jaminan mendapatkan pekerjaan kembali atau memulai usaha baru. Lapangan kerja tidak disediakan dengan baik oleh pemerintah. Bahkan, sebagian pelatihan dalam akses Kartu Prakerja menuai kritik karena tak berbeda dengan yang didapat gratis di berbagai kanal informasi daring.

JKP terkesan hanya janji manis karena jumlah buruh kontrak lebih banyak dibanding pekerja tetap, di mana buruh kontrak punya keterbatasan akses JKP. JKP hanya menyasar pekerja terdaftar BPJS Ketenagakerjaan yang didominasi oleh pekerja formal. Bagaimana dengan pekerja informal yang jumlahnya jauh lebih besar dibanding pekerja formal?

Tags:

Berita Terkait