Mengingatkan Kembali Pembentukan Badan Peradilan Sengketa Pilkada
Berita

Mengingatkan Kembali Pembentukan Badan Peradilan Sengketa Pilkada

Badan peradilan khusus sengketa pilkada ini diusulkan berada di bawah lingkungan MA atau MK, putusannya bersifat final dan mengikat, hingga berkedudukan di setiap provinsi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Anggota Komisi II DPR Johan Budi S Pribowo mengatakan pentingnya segera merealisasikan pembentukan lembaga peradilan khusus sengketa pilkada sebagai amanat putusan MK dan Pasal 157 UU Pilkada. Sebab, terbitnya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dan UU No. 10 Tahun 2016, amanat pembentukan badan peradilan khusus sengketa hasil pilkada, hingga kini belum juga terwujud.

“Saya sendiri setuju kalau ada pengadilan khusus mengadili sengketa perolehan suara pilkada itu sampai ke tingkat daerah provinsi,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu membandingkan dengan keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang ada di tingkat provinsi. Dia berharap nantinya keberadaan peradilan khusus sengketa pilkada berada di tingkat provinsi. “Adanya badan peradilan khusus ini dapat menangani sengketa perolehan suara hasil pilkada menjadi lebih objektif dan detil serta ada pembatasan waktu penanganannya,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Sementara Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Mardani Alisera berpadangan keberadaan badan peradilan khusus sengketa pilkada sebuah keniscayaan. Apalagi pembentukan badan peradilan khusus itu amanat dari Pasal 157 ayat (1) dan (2) UU 10/2016.

“Adanya badan peradilan khusus itu, eksekusi hasil keputusan menjadi lebih mudah. Bila badan peradilan khusus ini dibentuk sebaiknya berada di lingkungan MK, tapi dengan unit tersendiri,” usulnya.

Sebelumnya, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan saat ini MK sebenarnya tidak berwenang mengadili sengketa hasil pilkada. Hal ini telah ditegaskan dalam putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan wewenang MK mengadili sengketa pilkada melalui pengujian Pasal 236 C UU Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman.    

Menurutnya, alasan pembatalan wewenang MK mengadili perkara yang bersifat transisi itu disebabkan kala itu MK tengah mengadili 11 sengketa hasil pemilukada. Apalagi, dalam konstitusi tidak ada kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada. Karena itu, dalam pertimbangan putusan MK, tidak dinyatakan MK tidak berwenang, kecuali kalau ada lembaga khusus untuk mengadili sengketa pilkada, maka MK tidak berwenang lagi.

“Kemudian, putusan MK tersebut dikukuhkan dalam Pasal 157 ayat (1-3) UU Pilkada. Artinya kewenangan MK sekarang sifatnya transisional menjelang dibentuknya badan peradilan khusus,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait