Mengingatkan Kembali Pembentukan Badan Peradilan Sengketa Pilkada
Berita

Mengingatkan Kembali Pembentukan Badan Peradilan Sengketa Pilkada

Badan peradilan khusus sengketa pilkada ini diusulkan berada di bawah lingkungan MA atau MK, putusannya bersifat final dan mengikat, hingga berkedudukan di setiap provinsi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Memasuki persiapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 9 Desember 2020 mendatang, wacana pembentukan badan peradilan khusus sengketa pilkada kembali mengemuka. Selama ini penanganan sengketa pilkada di MK hanya bersifat transisi sambil menunggu terbentuknya peradilan khusus ini sesuai amanat putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan kewenangan MK mengadili sengketa pilkada.  

Lalu, pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada diamanatkan Pasal 157 ayat (1-3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Putusan MK dan pasal itu intinya menyebutkan untuk sementara waktu penanganan sengketa pilkada masih ditangani MK sebelum dibentuknya badan peradilan khusus untuk menangani sengketa hasil pilkada.  

Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengingatkan pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa hasil pilkada diamanatkan Pasal 157 UU Pilkada. Badan peradilan khusus sengketa pilkada ini memiliki kewenangan mengadili seluruh perkara hukum berkaitan dengan pelaksanaan pilkada. Seperti perkara perselisihan hasil pilkada, administrasi pilkada, dan perkara tindak pidana pilkada.

“MK masih berwenang menangani perkara perselisihan perolehan hasil pilkada hingga dibentuknya badan peradilan khusus ini,” ujar Zulfikar Arse Sadikin dalam keterangannya kepada Hukumonline, Jumat (14/8/2020). (Baca Juga: MK-MA Ingatkan Pembentukan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada)

Menurutnya, badan peradilan khusus sengketa pilkada ini terdapat empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, badan peradilan khusus harus berada di bawah MA. Hal itu sesuai Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah MA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.”

Kedua, badan peradilan khusus ini hanya menangani perkara perselisihan hasil pemilu kepala daerah saja. Sedangkan penanganan perkara sengketa hasil pemilu tingkat nasional tetap kewenangan MK. Ketiga, badan peradilan khusus sengketa pilkada ini merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. “Putusan badan peradilan khusus ini bersifat final dan mengikat demi peradilan cepat dan ada kepastian hukum,” kata dia.

Keempat, badan peradilan khusus ini berkedudukan di ibukota provinsi. Berdasarkan empat hal tersebut, kata Zulfikar, pembentukan badan peradilan khusus sengketa pilkada ini perlu persiapan secara matang. “Seperti kesiapan perangkat aturan, personil hakim dan pegawainya yang menguasai masalah kepemiluan, prasarana dan sarana, serta anggaran,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Anggota Komisi II DPR Johan Budi S Pribowo mengatakan pentingnya segera merealisasikan pembentukan lembaga peradilan khusus sengketa pilkada sebagai amanat putusan MK dan Pasal 157 UU Pilkada. Sebab, terbitnya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dan UU No. 10 Tahun 2016, amanat pembentukan badan peradilan khusus sengketa hasil pilkada, hingga kini belum juga terwujud.

“Saya sendiri setuju kalau ada pengadilan khusus mengadili sengketa perolehan suara pilkada itu sampai ke tingkat daerah provinsi,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu membandingkan dengan keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang ada di tingkat provinsi. Dia berharap nantinya keberadaan peradilan khusus sengketa pilkada berada di tingkat provinsi. “Adanya badan peradilan khusus ini dapat menangani sengketa perolehan suara hasil pilkada menjadi lebih objektif dan detil serta ada pembatasan waktu penanganannya,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Sementara Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Mardani Alisera berpadangan keberadaan badan peradilan khusus sengketa pilkada sebuah keniscayaan. Apalagi pembentukan badan peradilan khusus itu amanat dari Pasal 157 ayat (1) dan (2) UU 10/2016.

“Adanya badan peradilan khusus itu, eksekusi hasil keputusan menjadi lebih mudah. Bila badan peradilan khusus ini dibentuk sebaiknya berada di lingkungan MK, tapi dengan unit tersendiri,” usulnya.

Sebelumnya, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan saat ini MK sebenarnya tidak berwenang mengadili sengketa hasil pilkada. Hal ini telah ditegaskan dalam putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan wewenang MK mengadili sengketa pilkada melalui pengujian Pasal 236 C UU Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman.    

Menurutnya, alasan pembatalan wewenang MK mengadili perkara yang bersifat transisi itu disebabkan kala itu MK tengah mengadili 11 sengketa hasil pemilukada. Apalagi, dalam konstitusi tidak ada kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada. Karena itu, dalam pertimbangan putusan MK, tidak dinyatakan MK tidak berwenang, kecuali kalau ada lembaga khusus untuk mengadili sengketa pilkada, maka MK tidak berwenang lagi.

“Kemudian, putusan MK tersebut dikukuhkan dalam Pasal 157 ayat (1-3) UU Pilkada. Artinya kewenangan MK sekarang sifatnya transisional menjelang dibentuknya badan peradilan khusus,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait