Menguji Nyali Majelis Kehormatan Bongkar Skandal Perubahan Putusan MK
Terbaru

Menguji Nyali Majelis Kehormatan Bongkar Skandal Perubahan Putusan MK

Bila tidak diusut tuntas, skandal itu bakal mendagradasi citra MK di tengah masyarakat. Perlu peran proaktif MK membantu kepolisian membongkar skandal tersebut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa

Tak ada habisnya lembaga peradilan menjadi sorotan publik pasca tersandungnya dua hakim agung Mahkamah Agung dalam pusaran perkara korupsi. Kini Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi lembaga peradilan yang turut menjadi perhatian publik. Gara-garanya, adanya dugaan perubahan frasa dalam putusan perkara No.103/PUU-XX/2002 antara yang dibacakan di ruang sidang dengan risalah maupun salinan putusan. Majelis Kehormatan MK  yang dibentuk amat dinanti sepak terjangnya membongkar skandal tersebut.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana  mengatakan, Majelis Kehormatan MK harus berani membongkar dan mengusut tuntas skandal perubahan putusan MK. Khususnya terkait dengan syarat pemberhentian hakim konstitusi. Baginya, peristiwa tersebut layak  dikategorikan sebagai skandal.


Sebab disinyalir melibatkan pihak berpengaruh di MK. Selain itu, bila benar terjadi skandal, maka tak saja melanggar etik, tapi juga unsur pidana. Menurutnya, bila dalam proses pemeriksaan Majelis Kehormatan MK menemukan ada hakim konstitusi yang terlibat, maka tidak ada pilihan lain sanksi pemberhentian tindak dengan hormat menjadi hukuman yang mesti diberikan terhadap pelaku. Hal tersebut diatur dalam Pasal 41 huruf c Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

“Jika tidak diusut tuntas, skandal ini akan semakin mendagradasi citra MK di tengah masyarakat,” ujarnya melalui keterangannya kepada hukumonline, Selasa (7/2/2023).

Baca juga:

Kurnia melanjutkan, mengacu rentetan skandal kasus tersebut, Kurnia yakin betul pelakunya ditengarai lebih dari satu orang alias berkomplot. Malahan boleh jadi  ada relasi kuasa antara yang melakukan dengan pemberi perintah melakukan. Terlebih, ICW menengarai  adanya pihak yang sengaja mengambil keuntungan dari skandal perubahan isi putusan MK 103/PUU-XX/2002.

Baginya, Majelis Kehormatan MK mesti mengungkap tiga. Pertama, siapa yang melakukan perubahan bunyi putusan MK. Kedua, siapa yang menyuruh melakukan. Ketiga, apa motif di balik skandal tersebut. Tapi lagi-lagi, nyali Majelis Kehormatan MK amat diuji dalam membongkar skandal tersebut.

Penting pula memperhatikan rumuan norma dalam Pasal 15 UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur syarat menjadi hakim konstitusi.  Pasal 15 ayat (1) menyebutkan, “Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. adil; dan c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”.

Nah atas dasar itulah, bila terdapat hakim konstitusi terlibat skandal perubahan isi putusan MK 103/PUU-XX/2002, maka menjadi tidak layak menempati kursi pengawal konstitusi di lembaga peradilan konstitusi. Sebab, secara sengaja mengubah putusan persidangan adalah perbuatan tercela secara etik, berdimensi pidana, dan amat memalukan. 

Sementara Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni meminta Polri turun tangan mmembongkar  adanya skandal perubahan putusan MK. Sahroni menengarai adanya oknum ‘bermain’ terhadap perubahan frasa dalam putusan MK 103/PUU-XX/2002. Sebab adanya perubahan frasa dalam putusan MK menjadi amat penting.

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu berharap skandal tersebut dapat dibongkar kepolisian secara terang benderang. Pihak MK pun diminta proaktif membantu kerja kepolisian dalam membongkar dugaan tindak pidana tersebut agar perkara dapat terbuka secara terang-benderang.   Dia pun mengusulkan ke komisi tempatnya bernaung agar mengagendakan rapat dengan MK menelisik kejelasan dugaan skandal kasus tersebut.

Saya rasa MK juga harus proaktif membantu polisi membuka kasus ini demi nama baik institusi,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, putusan MK dalam Perkara No. 103/PUU-XX/2002 dinilai berubah isi substansinya dari yang dibacakan ketika di ruang sidang dengan penulisan yang ada di dalam risalah dan juga salinan putusannya. Dalam hal ini, MK diduga mengubah isi substansi putusannya yang berkaitan dengan pencopotan Hakim Konstitusi, Aswanto yang digantikan oleh Guntur Hamzah yang sebelumnya Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK.

Putusan No. 103/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, merupakan uji materi UU 7/2020. Kalimat yang diubah dan dipermasalahkan ada pada salinan putusan halaman 51. Dalam persidangan hakim konstitusi Saldi Isra menyebut kalimat ‘dengan demikian’ yang diucapkan dalam sidang putusan tanggal 23 November 2022. Sedangkan di salinan putusan yang diunggah MK dalam website ada pada bagian yang sama kalimatnya diubah menjadi ‘ke depan’ dalam salinan putusannya.

Tags:

Berita Terkait