Menilai 100 Hari Pemerintahan Megawati : Adilkah ?
Tajuk

Menilai 100 Hari Pemerintahan Megawati : Adilkah ?

Banyak cara untuk mengukur kegagalan suatu pemerintahan. Ukuran tadi bisa dari yang paling ekstrim. Misalnya, dari statistik kependudukan, dengan mengambil berapa banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berapa persen penduduk yang masih buta huruf. Berapa jumlah penduduk yang menikmati fasilitas pendidikan sampai sekolah menengah. Berapa jumlah penduduk masih menderita tuberkulosa atau miskin gizi. Berapa jumlah penduduk yang menjadi penganggur terselubung, dan sebagainya.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Menilai 100 Hari Pemerintahan Megawati : Adilkah ?
Hukumonline

Ukuran juga bisa diambil dari statistik penyediaan infrastruktur dan fasilitas umum. Berapa panjang jalan kelas ekonomi yang mampu mendistribusikan barang dan jasa ke seluruh pelosok wilayah negara. Berapa rasio penduduk yang sudah bisa menikmati listrik, air bersih, telepon, televisi, transportasi umum, dan sebagainya.

Ukuran juga bisa yang terbungkus dengan ukuran-ukuran makro, seperti tingginya kebutuhan privatisasi karena negara tidak mampu mengurus hajat hidup orang banyak. Dari rendahnya investasi asing karena tidak adanya iklim investasi yang kondusif, atau dari sisi persepsi "sangat aneh"-nya suatu pemerintahan karena misalnya indeks persepsi korupsinya jelek secara mencolok. Juga dari rendahnya indeks bursa saham karena perbankan yang sakit menjanjikan bunga deposito yang tinggi. Tidak tersedianya secara cukup pinjaman bank untuk investasi baru karena risiko usaha yang tinggi. Dan mungkin juga dari produktivitas dan efisiensi yang rendah karena kualitas sumber daya manusia yang jelek dan tidak terlatih, atau dari angka ekspor yang rendah karena tidak adanya daya saing.

Ukuran lainnya adalah ukuran-ukuran standar nilai, norma, dan etika yang umum berlaku di negara maju. Misalnya sistem dan kualitas pemilihan umum, sistem perwakilan, hubungan antara eksekutif dan legislatif, kemandirian yudikatif, penegakan good governance dan good corporate governance, penghargaan hak asasi manusia, integritas dan akuntabilitas pejabat publik, transparansi dan kesetaraan hak warga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan, penegakan hukum yang tidak memihak, dan seterusnya.

Daftar-daftar tadi bisa panjang, yang akhirnya akan melelahkan dan menimbulkan frustasi tak berujung. Dari ukuran negara maju, di mana sistem hukum sudah tertata baik dan mandiri. Di mana sistem politik dan pemerintahan sudah baku, terstruktur baik, dan penuh kejelasan dan kedewasaan. Di mana sistem ekonomi pasar sudah matang dan berfluktuasi rendah. Maka, penilaian 100 hari suatu pemerintahan adalah wajar untuk membandingkan apakah program dan janji-janji dalam pemilu yang lalu diterapkan secara konsisten. Apakah pemerintahan baru mempunyai prioritas yang jelas dan terukur baik. Apakah kebijakan-kebijakan yang mendasar sudah dicanangkan dan mulai diimplementasikan.

Kalau dengan semua modal kemapanan tadi nyata-nyata bahwa suatu pemerintahan dalam masa kerja 100 hari pertamanya melenceng jauh dari program dan janjinya semula, prioritasnya amburadul, dan kebijakan dasarnya jauh dari kepentingan mayoritas rakyatnya, maka bisa dibilang pemerintahan tersebut sudah berjalan ke tepi jurang kegagalan. Rakyat akan menyalakan "warning system"-nya melalui pooling popularitas, melalui tekanan publik di media masa, melalui mekanisme "public hearing" di parlemen atau debat terbuka, atau mungkin sekadar jeweran-jeweran dalam pertemuan antar-warga dan pemimpinnya di balai kota. 

Pemerintahan Megawati adalah pemerintahan di negara yang sedang dalam proses akhir penghancuran multidimensi di segala bidang, baik ekonomi, hukum, politik, hubungan antar-pusat-daerah, pertikaian etnik, maupun krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Maka untuk adilnya, ukuran 100 hari tidak bisa dibongkar dari sistim negara maju dan dilemparkan ke pundak pemerintahan Megawati. Standar dan ukuran diatas tidak akan mungkin dipenuhi oleh pemerintahan pimpinan siapapun, dengan anggota "the dream team" sehebat apapun, dan dengan dukungan politik setinggi apapun, hanya dalam waktu 100 hari kalender.

Orang di dalam pemerintahan Megawati melihat bahwa ada sejumlah orang bekerja keras, terutama di sektor ekonomi. Orang di luar pemerintahan tidak melihat apa-apa karena ukuran kesabarannya sudah tipis dari krisis berkepanjangan yang gagal diatasi oleh 3 pemerintahan sebelumnya. Masyarakat ingin melihat perubahan drastis, hari ini juga. Masyarakat lupa bahwa struktur dan sistem pemerintahan sekarang ini, orang-orangnya serta utamanya pola pikir dan mentalitasnya mayoritas masih sama dengan pemerintah Orde Baru. Pemerintahan Megawati diminta membuat produk baru dari mesin dan bahan baku yang lama. Maka, wajar kalau terjadi jurang ekspektasi yang dalam.

Gagalkah pemerintahan Megawati dalam 100 hari pertamanya? Kalau ukurannya adalah standar dan ukuran negara maju di atas, maka tidak fair kalau kita serta merta memvonis pemerintahan Megawati telah gagal. Tetapi kalau standar dan ukuran yang kita pakai adalah sikap pemerintahan Megawati untuk apakah mulai hari ini telah mempraktekkan "zero corruption" di semua lini pemerintahan, baik dengan pernyataan yang "bold" dan tindakan yang tegas dan nyata. Juga apakah mulai hari ini telah mulai memulihkan ekonomi dengan prioritas dan langkah-langkah jangka pendek dan menengah yang nyata dan transparan untuk publik. Apakah mulai hari ini telah merintis reformasi hukum, institusi hukum, dan personil hukum, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun profesi pengacara dengan prioritas-prioritas yang jelas. Apakah mulai hari ini sudah tidak ada lagi kekerasan dan penindasan di seluruh pelosok tanah air. Dan apakah mulai hari ini keamanan dan ketenteraman warga masyarakat sudah dijamin dari tindakan-tindakan kriminal di jalan-jalan. Maka terpaksa kita masih memberi rapor merah kepada pemerintahan Megawati, karena semua usaha ke arah itu masih jauh dari cukup.

Tajuk situs ini dengan judul "Prioritas Kabinet Megawati" di awal pemerintahannya pernah memberikan peringatan tentang prioritas utama bidang hukum yang perlu dan seharusnya dilihat oleh pemerintahan ini. Mungkin kita masih harus memberi kesempatan sedikit lagi kepada pemerintahan Megawati sebelum urat kesabaran kita putus. Kita rasanya perlu meneriakkan kembali bahwa semua keberhasilan negosiasi dengan CGI, IMF, dan negara-negara donor lain, keberhasilan privatisasi, restrukturisasi perbankan dan lain-lain akan hanya sejenak mengangkat leher dan kepala kita dari genangan lumpur keterpurukan. Tetapi bila prioritas reformasi hukum, institusi hukum dan personil hukum tetap tidak dijalankan secara galak, sitemik, dan berkesinambungan, maka badan kita yang masih terbenam di lumpur akan menarik kembali leher dan kepala kita ke dalam lumpur keterpurukan. Pada saat itu, kita mungkin tidak yakin bahwa masih akan ada kesempatan untuk bangkit kembali.

Tags: