Menilik Kebuntuan Putusan Praperadilan yang Dipandang Menyimpang
Kolom

Menilik Kebuntuan Putusan Praperadilan yang Dipandang Menyimpang

​​​​​​​PERMA 4/2016 tidak menjelaskan secara gamblang frasa ‘putusan praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental’. Mestinya, hukum acara terkait Praperadilan diatur dalam KUHAP. Akibat ketidakmampuan lembaga eksekutif dan legislatif merevisi KUHAP, berujung lembaga yudikatif yakni MA dan MK memposisikan dirinya sebagai regulator, eksekutor dan supervisor hukum acara.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam rangka mengurai jawaban atas pertanyaan di atas, maka kewenangan  yang diberikan kepada Mahkamah Agung untuk mengawasi putusan praperadilan mesti berjalan secara makksimal. Ketentuan pengawasan MA tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PERMA 4/2016 yang menyebutkan, “Wewenang Mahkamah Agung dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Praperadilan, meliputi: a. mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugas Praperadilan; b. meminta keterangan tentang teknis pemeriksaan Praperadilan; dan c. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu terhadap putusan Praperadilan yang menyimpang secara fundamental”.

 

Mengurai fungsi pengawasan yang diatur dalam PERMA 4/2016 tak saja berupa tindakan monitoring terhadap perilaku para hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Namun pula, pengawasan dengan meminta keterangan tentang teknis pemeriksaan dan pemberian petunjuk. Kemudian juga memberikan teguran atau peringatan dilakukan setelah adanya putusan praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental.

 

Ironisnya, PERMA 4/2016 tidak mengurai dan menjelaskan secara gamblang frasa putusan praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental’. Namun penulis berpendapat, makna frasa ‘putusan praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental’, misalnya dalam Pasal 2 ayat (4) PERMA No.4/2016 yang mengatur persidangan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan  pemeriksaannya singkat, serta pembuktiannya yang hanya memeriksa aspek formil.

 

Putusan Praperadilan No:117/PID.Prap/2017/PN.Jkt.Sel tanggal 24 Oktober 2017 yang salah satu amarnya menyatakan Penetapan P.21 dinyatakan TIDAK SAH DAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT. Padahal, penetapan P.21 bukan objek praperadilan. Sementara, permasalahan P.21 adalah masalah terkait substansi perkara dan bukan aspek formil.

 

Sayangnya, mengurai persoalan hukum acara Praperadilan dalam PERMA 4/2016, tidak memberikan jalan keluar atau solusi tindaklanjut dari putusan yang dianggap menyimpang secara fundamental. Padahal di sisi lain, putusan praperadilan tidak diberikan peluang untuk upaya hukum baik banding, kasasi maupun PK.

 

Mestinya, PERMA 4/2016  mengatur mekanisme praperadilan yang terintegrasi dengan pengadilan lain yang akan menyidangkan perkara pokoknya. Setidaknya atau,  teguran terhadap hakim praperadilan yang tidak memperhitungkan fakta adanya penetapan hari persidangan yang harus disampaikan ke publik. Sehingga, menjadi efek jera bagi hakim lainnya. 

 

Pengaturan tambahan

Dalam mengatasi kebuntuan  terkait dengan hukum acara Praperadilan, memang terdapat pengaturan dalam putusan MK dan PERMA. Namun hal tersebut menggambarkan bahwa betapa lembaga eksekutif dan legislatif sedemikian terlena hingga membiarkan aturan tersebut berjalan  hingga ujungnya ditentukan sendiri oleh lembaga yudikatif. Yakni MA dan MK.

Tags:

Berita Terkait