Menimbang Jeratan Pidana dalam Kasus Freeport
Berita

Menimbang Jeratan Pidana dalam Kasus Freeport

Ditinjau dari pertemuan yang dilakukan oleh Setya Novanto, Maroef Sjamsoeddin, dan Muhammad Riza Chalid yang diketahui belakangan dari rekaman yang beredar.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Diskusi “Aspek Hukum Kasus Setya Novanto” di Jakarta, Senin (14/12). Foto: NNP
Diskusi “Aspek Hukum Kasus Setya Novanto” di Jakarta, Senin (14/12). Foto: NNP
Meski sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belum rampung, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Ganjar Laksmana menilai, proses hukum dalam dugaan pencatutan nama presiden dan wakil presiden terkait saham Freeport bisa terus berjalan.

Menurutnya, proses hukum tidak bergantung dari proses di MKD yang sedang berjalan. “Proses MKD dan proses hukum tidak saling bergantung. Keduannya berjalan sendiri-sendiri,” kata Ganjar dalam sebuah diskusi “Aspek Hukum Kasus Setya Novanto” di Jakarta, Senin (14/12).

Ganjar mengatakan, pertemuan antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Muhammad Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin yang terungkap dalam rekaman bisa menjadi pintu masuk dimulainya proses hukum. Terkait hal ini, menurutnya, ada sejumlah pasal pidana yang bisa dijerat ke pihak-pihak tertentu.

Dalam rekaman itu, Ganjar menilai, terdapat upaya ‘percobaan penipuan’ yang diduga dilakukan Setya Novanto. Dalam percakapan itu, Setya mengatakan seakan-akan bisa membantu proses perpanjangan kontrak Freeport, jika Freeport Indonesia membantu ‘memuluskan’ pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Menurutnya, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai upaya percobaan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP lantaran perbuatan itu merupakan kejahatan yang tidak selesai dilakukan. Sementara, terkait dengan unsur ‘Menyerahkan Barang Sesuatu’ dalam Pasal 378 bisa dimaknai dengan ‘saham’ yang diminta terkait dengan proyek PLTA itu.

“Tapi saham belum diserahkan, makanya tidak kena penipuan. Tapi percobaan penipuan. Percobaan itu ada kalau ada niat, perbuatan pelaksanaan, dan tidak selesai karena bukan kehendak pelaku tindak pidana,” tegasnya.

Selain pasal itu, lanjut Ganjar, aparat penegak hukum bisa menggunakan ketentuan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam undang-undang itu diatur tindak pidana baru yang bernama tindak pidana nepotisme.

Dalam perkara ini, penyelenggara negara lebih mengedepankan kepentingan keluarga atau kroni dibandingkan kepentingan bangsa dan negara. Selai  itu, pada Pasal 23 UU itu yang mengatur tindak pidana kolusi juga bisa dijadikan dasar yang dilakukan seorang penyelenggara dengan pengusaha.

Aturan lain yang bisa dikaitkan, lanjut Ganjar, adalah ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3 undang-undang itu mengatur unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’. Menurutnya, kata ‘dapat’ itu bukan merupakan syarat mutlak sehingga tidak perlu merugikan keuangan negara terlebih dahulu untuk bisa diusut.

Dalam penjelasannya, delik pasal itu termasuk delik formil. Sehingga, perbuatan yang dilakukan tak perlu menunggu dampaknya. Tapi, cukup selesainya perbuatan itu bisa dijadikan dasar. Sedangkan untuk unsur ‘dengan tujuan menguntungkan diri sendiri’ juga bisa terpenuhi. Menurutnya, dalam hukum pidana, makna ‘untung’ tidak perlu menunggu dia untung secara konkret. Namun, cukup hanya punya potensi memberi keuntungan, unsur itu telah bisa terpenuhi.

“Secara akademis, artinya tidak perlu sampai dia untung pasal ini sudah bisa diancamkan,” paparnya.

Unsur lainnya dalam Pasal 3, kata Ganjar, adalah tentang ‘menyalahgunakan kesempatan’. Hal itu bisa dilihat dari penyalahgunaan kesempatan yang melekat dalam diri Setya Novanto selaku Ketua DPR yang diberi akses untuk bertemu dengan siapapun. Sayangnya, dalam rekaman itu ternyata Setya menyalahgunakan kesempatan yang diberikan olehnya sebagai Ketua DPR.

“SN menyalahgunakan ‘kesempatan’. Kan dia anggota DPR yang bisa ketemu siapa saja. Ada kesempatan ketemu dengan PTFI (PT Freeport Indonesia) tapi ada ‘embel-embel’ lain dengan tujuan menguntungkan diri sendiri,” kritiknya.

Jeratan pidana yang lain melalui Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 mengenai ‘permufakatan jahat’. Pasal ini yang juga digunakan oleh Kejaksaan Agung dalam menyelidiki kasus ini. Tapi sayangnya, menurut Ganjar, impelementasi pasal ini tidak bisa dilakukan tanpa adanya tindak pidana korupsi asalnya.

Menurutnya, tindak pidana korupsi asal bisa dengan menggunakan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Sehingga, Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 di juncto kan dengan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. “Tidak bisa berdiri sendiri. dia harus di juncto kan dengan pasal korupsinya. Menurut saya kalau mau pakai Pasal 15 harus juncto lagi dengan Pasal 3,” katanya.

Menurutnya, karakteristik Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999, berbeda dengan ‘percobaan penipuan’ dalam KUHP. Tindakan permufakatan jahat tanpa perlu diikuti dengan kejahatan sudah bisa masuk dan terpenuhi unsur-unsurnya. “Itu kejahatan yang bahkan belum dimulai, belum apa-apa, baru bermufakat. Tapi harus dibuktikan bahwa mereka harus bermufakat untuk melakukan kejahatan. Melakukan kejahatan adalah tujuannya,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Kepala Kajian Hukum dan Kebijakan LeIP, Arsil, mengatakan kalau ada dasar hukum lainnya yang bisa dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan oleh Setya berdasarkan rekaman serta transkrip yang selama ini beredar. Menurutnya, UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap bisa digunakan sebagai dasar acuan. Undang-undang tersebut secara umum mengatur tentang suap terhadap sesuatu yang menyangkut kepentingan umum.

Arsil menuturkan, kalau aturan ini jarang sekali digunakan. Namun, konvensi UNCAC telah mengamantkan juga bahwa undang-undang ini bisa dipakai. Pasal 2 UU Nomor 11 tahun 1980 mengenai unsur ‘kepentingan umum’ bisa terlihat dari tindakan Setya yang berusaha menjanjikan sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, dalam hal ini Freeport.

“Dari segi unsur nggak ada, sama dengan suap dia. Tindak pidana suap di UU tindak pidana suap dengan KUHP rumusannya sama. Karena memang dia sebenarnya ambil rumusan di KUHP. bedanya memang cuma pada siapa yang disuap. Ini setiap orang, cuma setiap orang itu berkaitan dengan kepentingan umum,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait