Menuju Good Corporate Governance (I)
Kolom

Menuju Good Corporate Governance (I)

Dewasa ini, banyak kalangan yang berbicara tentang perlunya kita menumbuhkan apa yang disebut good governance. Pendapat ini menarik, walaupun ihwal good governance ini bukanlah ihwal baru. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, para ilmuwan, pengusaha, dan masyarakat sipil (civil society) telah membahas ihwal good governance ini dalam banyak kesempatan.

Bacaan 2 Menit
Menuju Good Corporate Governance (I)
Hukumonline

Karena inilah inti persoalan yang kita hadapi, yaitu rapuh dan bobroknya sistem dan proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak (stakeholders). Menurut UNDP, 'good governance' adalah primary means for achieving sustainable human development particularly for poor and marginalized elements of society.

Kita perlu memahami terlebih dahulu tentang 'governance' sebelum menganalisis lebih jauh tentang kelemahan-kelemahan sistem dan proses pemerintahan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa governance itu mencakup mekanisme kompleks yang menyangkut proses, hubungan dan kelembagaan, di mana warga, kelompok dan anggota masyarakat menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan, menengahi perbedaan-perbedaan, dan menjalankan tugas dan kewajiban mereka.

Dalam kaitan ini, kita sesungguhnya berbicara tentang berbagai pihak, sektor atau lembaga yang terlibat dalam keseluruhan proses good governance ini seperti pemerintah (state), swasta (private sector) dan masyarakat sipil (civil society). Ketiga pihak, sektor, dan lembaga di atas dengan segala perangkat di bawahnya,  memainkan peran sangat penting  dalam keseluruhan proses good governance, yang jika dijabarkan mencakup political governance, administrative governance, dan economic governance.

Karakteristik

Selanjutnya, UNDP mengidentifikasi sejumlah karakteristik dari good governance yang biasa dijadikan ukuran, apakah telah tercapai good governance tersebut. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah:

Equality: semua orang, laki-laki dan perempuan, mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi;

Supremasi hukum: dalam negara yang mengatur adalah hukum yang adil, fair, dan tidak memihak. Semua orang termasuk pemerintah harus tunduk kepada aturan-aturan hukum;

Transaparansi: proses pengambilan keputusan harus terbuka, dan ada akses yang sama terhadap segala informasi kepada masyarakat;

Akuntabilitas: proses pengambilan keputusan harus bisa dimonitor dan dikritisi, dimana para pengambil keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan;

Responsiveness: semua instansi dan lembaga mendengar, mempertimbangkan dan merespon tuntutan-tuntutan masyarakat dan opini publik yang berkembang;

Partisipasi: bahwa sebanyak mungkin partisipasi dari masyarakat, langsung atau tidak langsung, terjadi dalam proses pengambilan keputusan publik;

Effective: keseluruhan proses pengambilan keputusan berlangsung dengan cara-cara yang cepat, murah dan sederhana.

Identifikasi karakteristik  good governance di atas adalah karakteristik-karakteristik yang biasanya terdapat pada proses good governance yang berjalan dengan baik. Tidak terlalu sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa di Indonesia, good governance masih amat jauh dari realitas keseharian, dan masih amat banyak pekerjaan rumah yang terbentang di hadapan kita.

Adalah menyedihkan bahwa baru sekarang ini kita mulai menumbuhkan wacana mengenai good governance ini. Dan sayangnya, ini pun lebih sebagai respons terhadap dorongan dan tekanan dari berbagai pihak seperti masyarakat sipil, dunia usaha, dan lembaga-lembaga internasional.

Dalam kesempatan ini, saya tidak akan membahas secara mendalam mengenai good governance ini. Akan tetapi, bahasan ini lebih kepada perlunya kita menumbuhkan apa yang sering disebut sebagai good corporate governance. Pertanyaannya adalah: mengapa good corporate governance? Bukankah ketika kita bicara tentang good governance sekaligus sudah bicara tentang good corporate governance?

Secara umum, sudah barang tentu topik good corporate governance merupakan bagian dari topik besar good governance. Namun demikian, cukup banyak alasan untuk membahas secara khusus topik good corporate governance. Penyalahgunaan perseroan, posisi direksi dan komisaris perseroan, pemegang saham mayoritas, terjadinya kolusi dan benturan kepentingan (conflict of interest) serta korupsi adalah hal-hal yang banyak terjadi pada tubuh perseroan.

Tidak dapat diingkari bahwa semua persoalan tersebut antara lain disebabkan oleh tidak dihormatinya prinsip-prinsip good corporate governance. Hasil pengamatan ini bukanlah suatu penyederhanaan soal yang berlebihan, tetapi korupsi, kolusi, nepotisme, benturan kepentingan, dan sebagainya adalah hal-hal yang menyimpang dari cara-cara berusaha yang baik seperti yang diatur didalam peraturan perundangan dan akta perseroan.

Kategori perseroan

Di Indonesia, kita mengenal setidaknya dua kategori perseroan, yaitu, perseroan terbatas tertutup (privately held corporation) dan perseroan terbatas terbuka (publicly held corporations). Akan tetapi, jumlah mayoritas perseroan adalah yang masuk dalam kategori perseroan terbatas tertutup yang jumlah pemegang sahamnya sangat sedikit, dalam bilangan jari, dan kebanyakan terdiri dari anggota keluarga dan sesama kawan.

Fenomena going public atau melepaskan sifat tertutup perseroan adalah fenomena yang berkembang dalam 20 tahun terakhir ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang di era tahun 1980-an berjalan sangat tinggi. Ini jelas suatu perkembangan yang sehat bagi dunia usaha. Akan tetapi, krisis ekonomi yang memukul Asia dan Indonesia di akhir tahun 1990-an telah membuat pasar modal menjadi tidak menarik.

Perseroan pada umumnya tunduk kepada UU No 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, UU 8/1995 tentang Pasar Modal dan Akta Perseroan. UU No 1/1995 adalah UU yang bersifat lex generalis, sementara UU No 8/1995 adalah UU yang bersifat lex specialis.

Akta Perseroan adalah juga lex specialis yang dalam beberapa hal yang fundamental tak boleh menyimpang dari UU No 1/1995 maupun UU No 8/1995. UU No 1/1995 adalah UU yang mengatur semua aspek hukum perseroan terbatas, terutama yang bersifat perseroan terbatas tertutup. Sementara UU No 8/1995 merupakan mengaturan lebih khusus terhadap perseroan terbatas terbuka yang tidak diatur dalam UU No 1/1995.

Dalam ketiga dokumen hukum di atas inilah semua prinsip-prinsip mengenai good corporate governance diatur. Sesungguhnya, hampir semua prinsip-prinsip good corporate governance  itu sudah dimuat secara cukup memadai. Jauh lebih memadai dari apa yang dulu pernah ditulis dalam 20 pasal Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD, Wetboek van Koophandel, Staabsblad 1847).

Perseroan di Indonesia, seperti juga di Belanda dan Jerman, memiliki dua badan (the dual board structure), yaitu direksi dan komisaris. Struktur ini berbeda dengan struktur perseroan di negara-negara Anglo Saxon yang pada umumnya hanya mengenal satu struktur yaitu Direksi.  Tentu selain kedua badan tersebut ada  pemegang saham yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan dapat mengambil keputusan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan atau Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham (RULBPS).

Khusus terhadap pemegang saham minoritas, tersedia pula mekanisme untuk membela haknya dari dominasi pemegang saham mayoritas yang pada zaman dulu praktis tidak mendapat perlindungan sama sekali, sehingga selalu disebut sebagai pelengkap penderita yang nasibnya bergantung kepada kebaikan hati pemegang saham mayoritas.

Kewajiban direksi dan komisaris

Kepengurusan pada perseroan dijalankan oleh direksi (pasal 79-93 UU No 1/1995) yang pada umumnya berupa kekuasaan untuk mengelola perseroan dengan itikad baik dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan perseroan. Rincian dari lingkup kerja dan tanggung jawab direksi ini diatur secara lebih spesifik di dalam akta perseroan, sehingga praktis sebetulnya direksi tidak dapat menyimpang dari semua prinsip-prinsip hukum yang mendasari terjadinya good corporate governance.

Direksi harus mencatat dan melaporkan semua kerjanya kepada pemegang saham, harus mengaudit pembukuan perseroan, harus mendapat persetujuan dari Komisaris dan atau pemegang saham untuk tindakan-tindakan hukum tertentu (meminjam uang, menjaminkan harta kekayan perseroan serta melakukan akuisisi, konsolidasi, dan merger).

Direksi juga wajib mencatat kepemilikan saham dari semua anggota direksi, komisaris maupun anggota keluarganya pada perseroan maupun perseroan lainnya satu dan lain hal untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan di kemudian hari. Secara sederhana, kita melihat bahwa prinsip transparansi dan akuntabilitas sudah dianut, sehingga good corporate governance seharusnya bisa dijalankan.

Komisaris bertugas mengawasi pekerjaan direksi, memberi nasehat kepada direksi, dan bilamana perlu memberhentikan sementara direksi yang dianggap menyimpang dari tujuan perseroan (pasal 94-101 UU No 1/1995). Rincian lebih lengkap mengenai lingkup hak dan kewenangan Komisaris diatur dalam akta perseroan, sehingga kita melihat bahwa  pengawasan terhadap direksi itu sesungguhnya dapat dilakukan. Namun, selama ini yang namanya Komisaris itu kebanyakan hanya hadir pada RUPS dan RULBPS.

Komisaris itu banyak yang tidak menjalankan fungsinya karena tampaknya komisaris itu sekadar merupakan jabatan kehormatan yang diberi kartu nama, gaji, dan fasilitas lainnya. Praktik perseroan telah mengkooptasi jabatan komisaris. Tidak heran jika dalam banyak perseroan besar kita melihat jabatan komisaris itu dipegang oleh mantan pejabat tinggi negara, sipil maupun militer, sehingga muncul kesan tambahan bahwa komisaris itu telah pula berperan sebagai corporate security.

Pada dasarnya jabatan komisaris itu tidak pernah dipandang sebagai jabatan berharga dalam perseroan, sehingga pada masa silam ada perseroan yang secara sengaja tidak mempunyai komisaris karena Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) memungkinkan itu. Akan tetapi, UU No 1/1995 sekarang mengharuskan setiap perseroan untuk memiliki komisaris (compulsory).

Direksi dan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh pemegang saham melalui RUPS dan atau RULBPS. Kewenangan RUPS dan atau RULBPS adalah sangat luas termasuk semua yang tak diberikan kepada Direksi maupun Komisaris (pasal 63-78 UU No 1/1995). Rincian kewenangan ini diatur lebih lanjut dalam akta perseroan. Namun karena pemegang saham tersebut bergantung kepada komposisi kepemilikan saham, biasanya pemegang saham mayoritas lebih menentukan.

Pemegang saham minoritas

Hanya saja, pemegang saham minoritas yang memiliki sedikitnya 10% saham dilindungi oleh UU No 1/1995. Dalam arti, dapat meminta pertanggungjawaban direksi maupun komisaris. Dan jika perlu dapat meminta bantuan pengadilan negeri setempat untuk melaksanakan haknya dalam hal direksi maupun komisaris tidak mendengar dan mengindahkan permintaan pemegang saham minoritas tersebut.

Dalam hal terjadi akuisisi dan merger, misalnya, pemegang saham minoritas ini karena ketidaksetujuannya dapat meminta agar perseroan membeli saham mereka sesuai dengan harga pasar. Jadi  pemegang saham minoritas tidak dapat dipaksa untuk turut memikul beban akibat keputusan pemegang saham mayoritas. Karena itulah, bagi perseroan terbatas terbuka diharuskan meminta persetujuan dari pemegang saham minoritas (pemegang saham independen) untuk beberapa keputusannya seperti akuisisi dan merger.

Pemegang saham minoritas ini mempunyai peran strategis dalam perseroan, tetapi khasanah yurisprudensi hukum kita masih sangat miskin, sehingga kita tak dapat mempelajarinya secara mendalam. Sudah waktunya para ahli hukum perseroan mengkompilasi dan menganalisis implikasi dari kewenangan pemegang saham minoritas secara empirik.

Kekhawatiran bahwa pemegang saham minoritas yang konon bisa berubah menjadi 'tirani pemegang saham', menurut kenyataannya tak terjadi. Hal ini mungkin karena budaya litigasi pada pemegang saham masih sangat miskin di negeri ini, sehingga pemegang saham minoritas lebih cenderung mengalah daripada memperjuangkan hak mereka.

Prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam perseroan terbatas tertutup tersebut secara lebih eksplisit diuraikan kembali dalam UU No 8/1995 di mana asas keterbukaan (disclosure) menjadi prinsip yang mahapenting. Perseroan tak boleh terlambat menginformasikan kepada publik mengenai perubahan yang sifatnya material pada perseroan, tak boleh ada pernyataan yang menyesatkan (misleading statement), tak boleh ada penghindaran atau percobaan penghindaran informasi (omission or attempt to omission), dan tak boleh ada perdagangan orang dalam (insider trading) serta berbagai benturan kepentingan (conflict of interest) lainnya.

Dalam konteks inilah semua perseroan terbatas terbuka diwajibkan meminta bantuan para profesi penunjang pasar modal yang terdiri dari konsultan-konsultan independen, seperti akuntan publik, konsultan hukum, dan perusahaan penilai. Para konsultan inilah yang melakukan audit keuangan dan hukum yang bakal dipakai oleh otoritas pasar modal dalam memberikan keputusan mereka.  

 

Todung Mulya Lubis adalah praktisi hukum

Artikel ini adalah bagian pertama dari dua tulisan.

 

Tags: