Menyerang Kantor Media Massa Bukan Cara Elegan
Berita

Menyerang Kantor Media Massa Bukan Cara Elegan

Penyegelan tetap bertentangan dengan norma hukum. Aparat penegak hukum diminta bertindak tegas.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Menyerang Kantor Media Massa Bukan Cara Elegan
Hukumonline
Jelang pencoblosan Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli, suasana kian memanas. Tidak saja di pusat kota, eskalasi di daerah mulai terasa. Yogyakarta, misalnya. Setelah penyerangan sekelompok masa terhadap rumah penduduk yang dijadikan tempat ibadah, kini kantor TV One Biro Yogyakarta diserang dan berujung penyegelan oleh pendukung masa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rabu (2/7) malam.

Anggota Komisi III Ahmad Yani mengaku prihatin dengan aksi penyegelan kantor TV One Biro Yogyakarta tersebut. Padahal, di era demokrasi semua pihak harus menjunjung tinggi kebebasan pers. Menurutnya, jika memang pemberitaan TV One tidak sesuai dan tidak netral, ada baiknya melakukan upaya yang elegan. Misalnya, memboyong kasus tersebut ke Dewan Pers.

Menurutnya, upaya hukum dapat ditempuh setelah melakukan mekanisme sesuai UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Jika memang tidak menemui titik temu, maka jalur hukum dapat ditempuh sesuai dengan UU yang berlaku. Fungsi Dewan Pers antara lain sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf d menyebutkan, “Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan meansyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”.

Yani berpendapat, pihak TV One juga mesti memberikan klarifikasi terhadap tudingan terkait adanya pemberitaan yang merugikan pihak PDIP. “Kalau memang TV One ada problem dianggap beritanya tidak netral, kan ada mekanisme yang harus digunakan. UU Pers misalnya,” ujarnya di Gedung Parlemen, Kamis (3/7).

Menurutnya, media tak boleh membuat pendapat pribadi, tetapi memberitakan pandangan dari narasumber. Terkait adanya narasumber yang memberikan pandangan soal simbol-simbol dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Yani meminta agar hal itu diklarifikasi.

Terlepas dari pemberitaan TV One, tindakan kekerasan tak dapat ditolelir. Menurut Yani, aparat penegak hukum harus bertindak tegas. Aparat penegak hukum di masa Pilpres memang menghadapi tugas yang kian berat. Namun, penegak hukum mesti bertindak sesuai dengan tugas dan fungsinya sesuai amanat perundangan yang mengaturnya.

“Kita minta pada institusi penegak hukum menginstivegasi nya dan tidak hanya ini ada yang dilakukan premanisme sebelumnya yaitu terhadap masyarakat dan mahasiswa di beberapa bulan lalu,” ujarnya.

Senada, anggota Komisi I Nurul Arifin menyesalkan sikap pendukung PDIP. Menurutnya pendukung PDIP dapat menggunakan cara yang santun dan damai. Menurutnya, tindakan massa PDIP berdampak pada salah satu pacangan capres. “Sangat disayangkan. Kalau ada keberatan silakan disampaikan secara damai,” ujarnya.

Nurul berpandangan jika pihak PDIP merasa dirugikan dari pemberitaan TV One, baiknya memboyong kasus pers tersebut ke Dewan Pers. Setidaknya, meminta klarifikasi dengan mediator Dewan Pers. Nurul menilai tepat dengan melakukan langkah sesuai dengan UU Pers.

“Menurut saya ini pelanggaran jurnalistik, apalagi situasi (sedang, red) panas. Tidak sudah menggunakan unsur kekerasan, pengerahan massa ini menimbulkan kontraproduktif,” kata politisi Golkar itu.

Politisi PDIP Olly Dondokambey mengatakan aksi reaktif dari pendukung partai berlambang banteng lantaran pemberintaan TV One bernada fitnah. Menurutnya, pemberitaan TV One sudah tidak dapat ditolelir. Itu sebabnya, Olly menilai tindakan di akar rumput merupakan hal wajar.

“Karena secara spontanitas melakukan itu. Saya kira pada kader0kader harus mengantisipasi hal-hal seperti itu jangan menjadi pemicu bagi perpecahan bangsa,” ujar ketua Komisi XI itu.

Kolega Olly, anggota Komisi III dari PDIP Eva Kusuma Sundari menambahkan, akan melakukan perlawanan sesuai dengan koridor hukum. Malahan, pihaknya telah melakukan diskusi internal dan meminta tim hukum partai menyiapkan  pelaporan ke Dewan Pers dan KPI.

“Karena sudah di luar toleransi kita. Bagaiamanapun kita tahu bahwa dilabeli PKI itu sudah memojokan kita. Karena kita nasionalis, kita yang pancasilais dikatain PKI, santri disintingkan. Ini luar biasa dan sudah di luar toleransi kita,” ujarnya.

Lebih jauh Eva mengatakan jika saja partai tempatnya bernaung tidak melakukan perlawanan, secara pribadi ia akan melakukan perlawanan. Eva pun menyayangkan media televisi yang seharusnya memberikan pencerahan dan mendidik kepada publik, bukan sebaliknya. Padahal, media massa sebagai bagian pilar demokrasi.

“Saya menyesalkan mandat TV yang harusnya mencerahkan malah menyesatkan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait