Menyoal Keefektifan Penegakan Hukum dalam Kasus Korupsi Dana Desa
Terbaru

Menyoal Keefektifan Penegakan Hukum dalam Kasus Korupsi Dana Desa

KPK menyebut ada ribuan laporan menyangkut penyimpangan pengelolaan dana desa.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Foto: RES
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan lembaga ini menerima ribuan laporan masyarakat dari seluruh Indonesia yang menyangkut dugaan penyimpangan pengelolaan dana desa yang perlu ditindaklanjuti bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

"Sejak peluncuran dana desa, banyak sekali laporan masyarakat yang disampaikan kepada KPK, ada ribuan laporan saya kira," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata seperti dilansir Antara.

Akan tetapi, kata dia, berdasarkan kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa kepala desa itu bukan pejabat negara dan bukan penyelenggara negara sehingga bukan kewenangan KPK untuk menindak.

"Kami berkoordinasi dengan Kementerian Desa PDTT supaya laporan-laporan itu ditindaklanjuti paling tidak dilakukan klarifikasi jangan-jangan hanya calon kepala desa yang kalah kemudian melaporkan atau masyarakat yang kecewa terhadap layanan desa itu," katanya.

Namun, apabila laporan penyimpangan keuangan oleh kepala desa ada hubungan dengan penyelenggara negara, pejabat negara atau aparat penegak hukum, katanya, maka KPK dapat melakukan penindakan. (Baca: Urgensi Peningkatan Pengawasan Internal Lembaga Pemerintah Cegah Korupsi)

"Seperti beberapa bulan lalu ketika KPK melakukan OTT bupati di Jawa Timur, ada 20 calon pelaksana tugas (Plt)) kades kita tindak, bayangkan untuk menjadi Plt kades saja mereka mau dan bersedia menyetor, pasti harapannya kalau nanti ditunjuk Plt ada sesuatu yang bisa diambil," katanya.

Ia mengatakan sekarang ini rata-rata desa mengelola dana sebesar Rp1,6 miliar, apabila masa jabatan enam tahun maka potensi dana desa sekitar Rp9,6 miliar, sehingga apabila kalau bisa mengambil 10 persen atau sekitar Rp900 juta masih untung dibanding pengeluaran ketika maju kepala desa yang sebesar Rp500 juta.

"Dana desa prinsipnya dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan oleh masyarakat desa sehingga dapat dibayangkan apa yang terjadi ketika kepala desa merangkap sebagai tokoh masyarakat, ketua suku, dan ketua adat, maka masyarakat takut semua mengawasi," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, apakah harus dana desa itu dikucurkan secara tunai, namun dilihat terlebih dahulu kira-kira desa tersebut bisa tidak mengelola dana desa, kalau tidak siap, maka dapat membentuk program yang dibiayai dana desa dengan dilaksanakan pemda.

"Meski tidak ada jaminan tidak ada penyimpangan, tetapi paling tidak dengan adanya program itu akan jelas wujudnya, fisiknya, dan seterusnya. Ini yang perlu dipikirkan ke depan," katanya.

Pengembalian Kerugian Lebih Efektif

Alexander Marwata menilai upaya pengembalian kerugian keuangan ke kas desa dinilai lebih efektif dan efisien dibandingkan memenjarakan kepala desa yang terlibat penyimpangan anggaran.

"Saya rasa yang perlu dipikirkan ke depan, termasuk dalam melakukan penindakan kepala desa, jadi kalau ada kades terbukti ambil duit, tapi nilainya tidak seberapa, kalau diproses ke pengadilan biaya lebih besar, akhirnya nggak efektif dan nggak efisien," katanya.

Menurut dia, pemidanaan atau memenjarakan kepala desa yang terlibat korupsi melalui proses pengadilan yang panjang akan membutuhkan uang negara yang besar, bahkan lebih banyak dibanding apa yang negara peroleh dari pengungkapan kasus penyimpangan keuangan itu.

"Ya sudah, suruh (kades) kembalikan saja, kalau ada ketentuannya pecat kadesnya, selesai persoalan. Kalau tidak ada ketentuan, ya bagaimana dibuat aturan, mungkin dengan musyawarah desa (musdes) bersama masyarakat, kan mereka yang milih," katanya.

Dia mengatakan upaya pemberantasan korupsi tersebut tidak semata-mata berakhir di pengadilan, atau keberhasilan upaya pemberantasan korupsi dengan ukuran berapa banyak orang yang dipenjarakan.

"Kita sepakat kalau menyangkut kerugian keuangan negara, keuangan daerah, dan kerugian desa bagaimana semaksimal mungkin uang bisa kembali ke kas desa, kas daerah, dan kas negara, itu saya kira lebih efektif dibanding dengan memenjarakan orang," katanya.

Dia mengatakan pengembalian kerugian keuangan desa atau daerah dan memberhentikan pejabat dan kepala desa yang korupsi tentu akan membuat jera para pejabat dan kepala desa lainnya. "Apalagi punya istri yang tidak kerja, anak tiga, bubar semua. Hal seperti itu barangkali bisa menjadi perenungan, introspeksi kita bersama, dan pemberantasan korupsi tetap menjadi upaya kita semua, jadi 'PR' kita bersama," katanya.

Merespons hal ini, Anggota Komisi Hukum DPR M. Nasir Djamil mendukung langkah KPK yang mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) pada kasus korupsi dana desa yang melibatkan kepala desa.

"Tentu pendekatan keadilan restoratif selayaknya dikedepankan pada kasus-kasus korupsi dana desa, karena cukup banyak kepala desa dan aparaturnya yang terjerat korupsi disebabkan pengetahuan yang minim, terlebih jika jumlah kerugian yang terjadi kecil," ujarnya.

Menurutnya, tidak semua kasus korupsi dana desa yang melibatkan kepala desa dan aparaturnya harus diselesaikan dengan pendekatan retributif. Nasir menilai pendekatan "restorative justice" pada kasus korupsi dana desa layak untuk diterapkan karena dalam banyak kasus, kerugian dari pengelolaan dana desa bukan karena adanya "mens rea" melainkan keterbatasan sumber daya manusia semata. Hal ini sejalan dengan paradigma baru pemidanaan yang ingin dibangun di Indonesia.

Di samping itu, Anggota DPR Asal Aceh ini menyarankan agar penegak hukum lebih fokus pada upaya pencegahan dengan peningkatan bimbingan dan pengawasan kepada aparatur desa yang dilakukan oleh otoritas terkait sehingga kasus penyalahgunaan dana desa bisa ditekan seminimal mungkin.

Nasir yang juga Anggota Banggar DPR RI menjelaskan bahwa penyaluran dana desa pada hakikatnya ditujukan untuk keadilan dan partisipasi desa yang lebih luas dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi dan pembangunan desa.

Oleh karena itu pendekatan restoratif yang diikuti dengan bimbingan dan pengawasan yang baik diharapkan mampu memberi kenyamanan bagi aparatur desa dalam mengelola dana desa untuk merangsang pembangunan.

"Perwujudan otonomi desa salah satunya diwujudkan dengan pemberian kewenangan pembangunan secara lokal-partisipatif kepada desa, oleh karenanya kewenangan ini harus dirawat dan didukung dengan peningkatan kapasitas aparatur desa dan pengawasan pengelolaan dana desa yang baik," kata Nasir.

Tags:

Berita Terkait