a. Peserta tender menyampaikan dokumen atau keterangan palsu untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam dokumen tender;
b. Peserta tender terindikasi melakukan persekongkolan dengan peserta lain untuk mengatur harga penawaran;
c. Peserta tender terindikasi melakukan korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme dalam pemilihan penyedia;
d. Peserta tender mengundurkan diri dalam proses tender dengan alasan yang tidak dapat diterima;
e. Pemenang tender mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima sebelum penandatanganan kontrak; dan
f. Penyedia tidak melaksanakan kontrak atau tidak melaksanakan kewajiban dalam masa pemeliharaan.
Kondisi huruf b di atas tampak dapat menjadi pintu masuk bagi KPPU untuk kemudian menjatuhkan sanksi daftar hitam kepada pelaku usaha. Namun demikian Perpres 16/2018 dan Peraturan LKPP 4/2021 mengatur lebih rinci mengenai sanksi daftar hitam tersebut.
Untuk pelanggaran huruf a sampai dengan huruf c di atas, maka peserta tender dikenakan sanksi daftar hitam selama dua tahun. Sedangkan untuk pelanggaran huruf d sampai dengan huruf f, maka peserta/pemenang tender/penyedia dikenakan sanksi daftar hitam selama satu tahun. Selanjutnya, pengenaan sanksi daftar hitam untuk pelanggaran huruf a sampai dengan huruf d ditetapkan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas usulan dari Pejabat Pengadaan/Pokja Pemilihan/Agen Pengadaan. Sedangkan untuk pelanggaran huruf e dan huruf f, maka sanksi daftar hitam ditetapkan oleh PA/KPA atas usulan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Tata cara penetapan sanksi daftar hitam diatur lebih lanjut dalam Peraturan LKPP 4/2021 yang terdiri dari dari beberapa tahap yaitu: (i) pengusulan; (ii) pemberitahuan; (iii) keberatan; (iv) permintaan rekomendasi; (v) pemeriksaan usulan; dan (vi) penetapan. Secara garis besar tata cara penetapan sanksi daftar hitam dapat diuraikan sebagai berikut: