Menyoal Sanksi Pidana bagi Penyelenggara Haji dan Umrah dalam UU Cipta Kerja
Berita

Menyoal Sanksi Pidana bagi Penyelenggara Haji dan Umrah dalam UU Cipta Kerja

Maksudnya baik untuk menghindari kasus seperti First Travel. Namun, konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi membuka celah terjadinya multitafsir atau pasal karet karena penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Undang-Undang Cipta Kerja masih mendapat sorotan publik. Anggota Badan Legislasi DPR, Bukhori Yusuf, mengatakan sejumlah asosiasi penyelenggara ibadah haji dan umrah (PIHU) mengeluhkan pidana kurungan hingga 10 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar dalam UU Cipta Kerja. Aturan itu terdapat dalam Bab III Bagian Empat, Paragraf 14 tentang Keagamaan Pasal 125 dan Pasal 126.

Alasannya karena Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) dapat juga dikenakan sanksi administratif sekaligus oleh aparat penegak hukum, sesuai bunyi Pasal 118A dan Pasal 119A, sehingga sanksi yang diterima nanti pun berlapis-lapis.

"Berat sekali konsekuensinya (bagi PIHK dan PPIU) bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administratif bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun,” kata Bukhori seperti dikutip dari Antara Senin (1/11).

Pasal 118A dan Pasal 119A UU itu mencakup sanksi administratif dari yang ringan, yaitu berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha. Selain itu, PIHU juga berkewajiban mengembalikan biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian bukan materiil lainnya.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan bahwa Pasal 118A dan Pasal 119A sesungguhnya memiliki maksud yang baik, yakni memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara ibadah haji/umrah yang merugikan jemaah, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel. (Baca Juga: UU Cipta Kerja Langgengkan Pemodal Asing? Ini Kata Kepala BKPM)

"Pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal, akan tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah Pasal 118A dan Pasal 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran,” tukasnya.

Namun yang bermasalah adalah yang tercantum dalam pasal selanjutnya, yakni Pasal 125 dan Pasal 126. "Disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118A dan Pasal 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar," kata Bukhori.

Ia mengatakan konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi itu akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet karena penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus.

Dari segi etika hukum, Bukhori menganggap pemberlakuan sanksi berlapis itu pun tidak pada tempatnya alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran. Hal itu karena kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang sangat bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.

Ia pun menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU itu, sesungguhnya karena ketergesa-gesaan selama proses penyusunan UU Cipta Kerja.

Bukhori mengklaim pembahasannya saat itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR secara terpisah dari PKS, khususnya terkait sanksi pidana pada Pasal 125 dan Pasal 126 UU Nomor 8 Tahun 2019 dengan menambahkan batas waktu lima hari.

“Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati Pasal 68 merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat PPIU yang harus kami pastikan adalah WNI dan muslim sebagaimana dalam UU No. 8/2019. Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat,” kata Bukhori.

Alhasil, Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg. “Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian memunculkan pasal tambahan, yakni Pasal 118A dan Pasal 119A sebagai pasal sisipan. Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi administratif ini ternyata memiliki kaitan dengan Pasal 125 dan Pasal 126 terkait sanksi pidana sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis,” ujarnya.

Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII DPR itu menilai konstruksi berpikir untuk melakukan perlindungan bagi jemaah melalui regulasi baru ini sesungguhnya sudah baik. Namun, dengan munculnya potensi pasal kontroversial tersebut justru akan menimbulkan permasalahan baru.

“Kami juga mengamini bahwa bagi pihak penyelenggara umrah dan haji yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan sebenarnya sudah masuk dalam ketentuan pidana,” ungkapnya.

Dia menyarankan agar pasal pidana UU Cipta Kerja sebaiknya dicabut agar tidak membuka ruang spekulasi bagi para penegak hukum. Dengan melihat fakta bahwa ancaman hukuman dalam UU Cipta Kerja ini sifatnya berlapis sehingga memberikan kepastian hukum bagi PIHK dan PPIU sesuai dengan asas keadilan, pungkasnya.

Kewajiban Deposit

Sebelumnya, Forum Silaturahim Asosiasi Travel Haji dan Umrah (Sathu) mempersoalkan UU Cipta Kerja yang menguatkan regulasi sebelumnya untuk mewajibkan biro perjalanan ibadah memiliki dana deposit jamaah sebagai dana jaminan. "Omnibus Law tujuannya meringankan, tetapi masyarakat justru dibebani," kata Ketua Dewan Pembina Sathu, Fuad Hasan Masyhur, seperti dikutip Antara.

Adapun deposit setoran umrah merupakan dana setoran awal jamaah untuk berumrah. Fuad mengatakan sebelumnya kewajiban travel umrah menyetor deposit dana jamaah tertuang melalui SK Dirjen PHU No.3123 Tahun 2019.

Aturan itu juga sejatinya tidak berlaku karena sudah ada putusan perkara di Pengadilan Tinggi Usaha Negara Nomor 173/B/2020/PT.TUN.JKT. Kendati demikian, dia heran dalam UU Cipta Kerja justru aturan deposit setoran umrah itu kembali ada, yaitu pada Pasal 94 ayat 1 butir K.

"Aturan tersebut berpotensi menimbulkan penampungan dana umrah dari masyarakat yang sangat besar," kata dia mengkhawatirkan ada penyalahgunaan dana deposit.

Fuad mengatakan dalam UU Cipta Kerja hanya mengatur biro perjalanan umrah yang terkait ibadah tetapi tidak mengatur travel konvensional. "Begitu banyak orang pergi ke Las Vegas, ke Makau, kenapa tidak harus ada deposito? Apalagi orang yang pergi berjudi ke sana itu peluang kalahnya lebih banyak. Bisa-bisa mereka terlantar di sana. Itu warga negara kita juga," katanya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum DPP Kesatuan Tour Travel Haji Umroh Republik Indonesia (Kesthuri), Asrul Azis Taba, mengatakan kewajiban setoran awal umrah mempersulit penyelenggaraan umrah oleh agen perjalanan.

Dia menggambarkan pada tahap awal calon jamaah harus menyetorkan Rp10 juta jika ingin mendapat porsi menunaikan ibadah umrah. Sementara sejatinya nilai minimal setoran sebaiknya tidak perlu ada patokan karena uang muka seharusnya disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.

Kemudian, kata dia, biro travel baru bisa menarik setoran calon jamaah dari bank jika cicilan berumrah jamaah terkait sudah mencapai minimal Rp15 juta. Sementara PPIU tidak dapat menunggu waktu terlalu lama dalam penyelenggaraan umrah karena membutuhkan dana secepatnya untuk operasional seperti booking akomodasi, transportasi dan unsur lainnya.

Jika harus menunggu cicilan jamaah senilai Rp15 juta baru dapat ditarik penyelenggara perjalanan, kata dia, maka yang terjadi biro travel umrah mencari dana talangan yang tidak mudah sehingga secara prosedur menyulitkan. Padahal sejatinya setoran yang didepositokan adalah uang jamaah umrah sendiri.

 

Tags:

Berita Terkait