Menyoal Vonis Ringan Pelaku Korupsi oleh Pejabat Publik
Utama

Menyoal Vonis Ringan Pelaku Korupsi oleh Pejabat Publik

Keringanan vonis kejahatan korupsi diduga terjadi karena pelakunya berasal dari institusi penegak hukum.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga,” jelas Philip dalam diskusi online "Tebang Pilih Hukum di Indonesia: Fenomena Putusan Hakim untuk Kasus Jaksa Pinangki” Jumat (16/7).

Dia menjelaskan fenomena peringanan vonis koruptor ini terjadi karena ketidakseriusan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus tersebut. Dia menduga karena terpidana korupsi berasal dari institusi penegak hukum. Dalam kasus Pinangki misalnya, Philip menilai terdapat kejanggalan karena Kejaksaan Agung menolak melimpahkan kasus tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Terjadi konspirasi sangat menjijikan masa jaksa ditangani jaksa sendiri,” jelas Philip.

Dia juga menyoroti alasan pengadilan tinggi mengabulkan banding Pinangki sehingga mengurangi masa penahanan dari 10 tahun menjadi 4 tahun. Berbagai alasan keringanan seperti pengakuan bersalah hingga pemecatan, seorang ibu dari anak balita, seorang wanita sehingga harus diperhatikan, dilindungi dan diperlakukan adil, tidak dapat diterima. “Dalam hukum tidak ada seperti ini, bagaimana dengan kasus lain seperti seorang nenek yang harus dihukum karena ambil dahan pohon,” jelasnya.

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Hanifah Febriani, menduga keringanan vonis kejahatan korupsi terjadi karena pelakunya berasal dari institusi penegak hukum. “Fenomena saat ini praktik korupsi terjadi di berbagai institusi penegak hukum Kejaksaan, Mahkamah Agung bahkan KPK,” jelas Hanifah.

Selain itu, terjadi pelemahan karena belum ada kesamaan cara pandang dalam pemberantasan korupsi. Dia juga menilai Revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU 19/2019 justru melemahkan peran KPK.

Hanifah menyampaikan berbagai upaya penguatan penegakan hukum kejahatan korupsi dapat dilakukan seperti rekrutmen aparat penegak hukum secara transparan dan objektif. Kemudian, perlunya peningkatan pengawasan, membangun integritas dan moralitas pada aparat.

Dia juga mendorong agar pemberian sanksi tegas terhadap pejabat publik yang korup. Kemudian, kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum seharusnya ditangani KPK agar terhindar dari konflik kepentingan. “Sulitnya memberantas korupsi di aparat penegak hukum karena mereka punya resource,” jelas Hanifah.

Tags:

Berita Terkait