Meramu Formula Tepat Pengelola Hulu Migas
Fokus

Meramu Formula Tepat Pengelola Hulu Migas

Harus ada pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah terjadinya korupsi.

CR15
Bacaan 2 Menit

Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009-2012 di saat SKK masih bernama BP Migas dan di bawah pimpinan Raden Priyono, ditemukan 28 dugaan penyimpangan dalam pengelolaan Migas. Penyimpangan itu ditaksir berpotensi merugikan negara sebesar Rp207.112.380.00 atau USD137.143.740.

Dari 28 temuan itu, dugaan penyimpangan terbesar yakni dalam hal cost recovery, di mana banyak terjadi penggelembungan dan mark up. Model penyimpangan korupsi seperti itu, telah memenuhi dua unsur pelanggaran aturan yang berdampak kepada kerugian negera.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melaporkan indikasi penyimpangan minyak di BP Migas kepada KPK. Namun, lembaga anti rasuah saat itu hanya menjadikan laporan tersebut sebagai bahan kajian. Padahal pada laporannya itu, kerugian negara sejak 2000-2009 mencapai Rp194 triliun akibat tidak transparannya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.

Anggota Komite IV DPD Hasbi Anshory yang berasal dari Jambi mengakui, selama ini pengelolaan industri migas memang belum transparan. Bahkan, pemerintah daerah saja tidak pernah mengetahui jumlah lifting di daerahnya. Berdasarkan pengamatan Hasbi, selama ini pembagian dana bagi hasil hanya dilakukan dengan mengumpulkan para pejabat dispenda tanpa dijelaskan sumbernya dari sumur mana. Padahal, kejelasan mengenai lifting adalah modal bagi pemerintah daerah untuk bisa meminta cost recovery.

“Setiap saya ke daerah, pemerintah setempat tak pernah tahu berapa lifting di daerahnya. Padahal, pipa-pipa lifting banyak yang melewati pemukiman penduduk di daerah. Kalau meledak, tentu yang pertama menanggung akibatnya masyarakat di daerah,” tutur Hasbi.

Persoalan transparan pengelolaan migas tak berhenti sampai pada jumlah lifting yang tidak diketahui oleh pemerintah daerah. Jumlah lifting dari laporan yang dikeluarkan perusahaan dengan yang diterima negara pun tak sama. Celakanya, perbedaan laporan ini hingga sekarang belum ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.

Menurut Anggota Tim Advokasi Koalisi Masyarakat untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif, Publish What You Pay (PWYP), Aryanto Nugroho, ada sekitar 29 juta dollar AS perbedaan jumlah lifting yang ditemukan Extractive Industry Tranparency Initiative (EITI) Indonesia tahun 2009.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait