Merawat Negara Hukum dalam Pandemi
Kolom

Merawat Negara Hukum dalam Pandemi

Dalam menghadapi pandemi, komitmen kita pada prinsip-prinsip negara hukum sebenarnya sedang ikut pula diuji.

Bacaan 2 Menit
Merawat Negara Hukum dalam Pandemi
Hukumonline

Setiap bencana besar punya potensi untuk sedikit-banyak mengubah peradaban. Tak terkecuali, pandemi global corona virus desease 2019 (Covid-19) yang sedang dihadapi oleh umat manusia di berbagai negara saat ini. Perlahan tapi pasti, kita lihat potensi perubahan di bermacam aspek peradaban dalam  pandemi ini.

Suatu kondisi normal yang baru (new normal) semakin terasa mendekat dan membayangi kita semua. Meningkatnya ketergantungan pada teknologi, tanda-tanda mulai menyempitnya ruang kebebasan sipil, menguatnya peran negara dalam mendisiplinkan warga, melemahnya perekonomian berbagai negara, dan lain sebagainya. Ketika peradaban berubah, perilaku manusiapun berubah. Ketika perilaku manusia berubah, hukum pun bisa berubah.

Bacaan di atas, tentu bisa jadi berlebihan dan meleset. Kita semua pasti berharap pandemi ini segera berlalu, tidak memakan lebih banyak korban, dan tidak meninggalkan dampak buruk yang teramat besar. Namun satu hal yang pasti, umat manusia harus ambil banyak pelajaran dari rentetan krisis yang terjadi dalam pandemi ini.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam penjelasannya (pra-amandemen konstitusi), dijabarkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat). Tulisan pendek ini dengan sadar membatasi diri untuk tidak mengulas kompleksitas konsep Negara Hukum, Rechstaat, maupun Rule of Law. Pada dasarnya, kekuasaan negara harus dibatasi hukum, dan hak asasi manusia harus dilindungi. Lantas, bagaimana “nasib” negara hukum saat pandemi?

Sebelum pandemi, kita bisa dengan bangga mengucapkan Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakkan keadilan walaupun langit runtuh). Kenyataannya, menegakkan keadilan tidak semudah dalam pepatah. Langit masih belum runtuh, kita sudah mulai tergoda untuk sementara mengesampingkan hukum dan hak asasi manusia dengan alasan pandemi.

Saat pandemi melanda, lalu kita mulai mengutip ungkapan latin lainnya: Salus Populi Suprema Lex Esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi). Tak ada yang salah dengan kutipan dari Cicero itu. Makna ungkapan ini juga tidak bertentangan dengan makna Fiat Justitia Ruat Caelum. Namun ungkapan ini juga bisa dimaknai secara salah, dan bisa saja disalahgunakan untuk menjustifikasi kesewenang-wenangan atas nama keselamatan rakyat. Oleh karenanya, publik maupun pengambil kebijakan perlu cermat dan berhati-hati tiap kali melihat ataupun hendak menggunakan ungkapan ini sebagai dalil.

Pandemi Covid-19 ini mungkin satu-satunya masa di mana warga, termasuk para aktivis pro-demokrasi dan hak asasi manusia, meminta agar Pemerintah cepat ambil langkah untuk menerapkan pembatasan-pembatasan. Berbagai  jenis dan tingkat pembatasan tentunya bukan hanya wajar, tapi juga memang harus diterapkan dalam menghadapi pandemi ini. Strategi penelusuran (tracing), pembatasan/karantina/isolasi (isolating), pemeriksaan/pengujian (testing), dan perawatan (treatment) sudah menjadi resep wajib yang dijalankan oleh berbagai negara dengan kadarnya masing-masing.

Tags:

Berita Terkait