MK Bisa Kesampingkan Pasal 158 UU Pilkada
Berita

MK Bisa Kesampingkan Pasal 158 UU Pilkada

Hari ini, MK menyidangkan sidang pendahuluan terhadap 51 permohonan sengketa pilkada.

ASH
Bacaan 2 Menit
Suasana di luar sidang MK saat sidang sengketa pilkada berlangsung, Kamis (07/1). Foto: RES
Suasana di luar sidang MK saat sidang sengketa pilkada berlangsung, Kamis (07/1). Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana (pendahuluan) sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai Kamis (07/1) hingga Senin (11/1). Saat sidang hari ini masih ada pihak yang memprotes berlakunya Pasal   Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun, mengatakan UU Pilkada memang membatasi selisih suara sebagai syarat mengajukan hasil pilkada. Besarannya bervariasi dari selisih 0,5 persen hingga 2 persen tergantung dari jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota atau provinsi. “Tetapi, di lapangan   Persoalannya, kata Refly, apakah MK akan kembali pada cara berpikir generasi hakim MK sebelumnya (era kepemimpinan Moh. Mahfud MD) yang berpegang pada prinsip “keadilan substantif”. Dalam arti, MK tidak terpaku pada soal hitung-hitungan angka, tetapi juga menilai seluruh proses pilkada apakah bertentangan dengan UUD 1945. “Hakikatnya, penyelenggaraan Pilkada harus dilakukan secara demokratis. Kalau perbedaan lebih dari 2 persen, tetapi dengan kecurangan  aneh kalau ditolak”.   Refly berpendapat seharusnya MK tetap berpegang pada doktrin “keadilan substantif” dengan melihat posisi kasusnya seperti apa. “Kalo dalilnya tidak kuat bisa ‘dipotong’ (ditolak, ). Tetapi, kalau dalilnya kuat dan kecurangannya berpengaruh signifikan pada hasil Pilkada, maka pembatasan Pasal 158 UU Pilkada seharusnya bisa diterobos,” kata Refly.   Dia mencontohkan MK pernah membatalkan Pasal 50 UU MK yang sebelumnya membatasi produk Undang-Undang yang bisa dimohonkan pada 2004. Alhasil, semua produk UU yang lama termasuk KUHP bisa dimohonkan pengujian di MK. “MK keluarkan putusan yang kesampingkan Pasal 50 UU MK, sehingga UU lama seperti KUHP bisa dilakukan,” kata Refly membandingkan.   Menurut dia, MK bisa saja mengesampingkan berlakunya UU Pilkada terhadap perkara yang kecurangan/pelanggarannya bersifat khusus yang berpotensi merusak tegaknya pemilu yang luber dan jurdil sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Karena itu, tidak ada salahnya mengesampingkan pasal itu sepanjang pemohon bisa membuktikan kecurangan yang sistematis yang mempengaruhi perolehan suaranya secara signifikan.   “Sebagai , mudah-mudahan hakim konstitusi punya kebijaksanaan demi menjaga marwah konstitusi. Kalau tahu ada pelanggaran konstitusi, tetapi merasa terhalang bunyi UU, bukan MK namanya karena MK biasanya terobos UU kalau halangi tugas konstitusionalnya,” kritiknya.   Dia juga melihat dari 147 permohonan pilkada dari berbagai daerah hanya sekitar 20-30 permohonan yang memenuhi syarat Pasal 158 UU Pilkada. Ini artinya, banyak permohonan yang bakal tidak dapat diterima atau ditolak. “Ada sedikit sekali yang memenuhi syarat selisih jumlah suara untuk menggugat sekitar 20-30an permohonan. Tetapi, praktiknya, proses pilkada masih tetap dipertimbangkan dan dijadikan bagian dari putusan MK.”   Sebelumnya, Ketua MK Arief Hidayat menegaskan Pasal 158 UU Pilkada terkait selisih suara minimal di bawah 2 persen sebagai syarat menggugat tidak bertentangan UUD 1945. Sebab, aturan itu merupakan    Menurutnya, pihaknya tidak bisa mengabaikan berlakunya Pasal 158 UU Pilkada dalam proses penyelesaian sengketa pilkada ini. “Tidak boleh, sumpah saya di hadapan Presiden, saya akan menjalankan perintah UUD 1945 dan UU. Melanggar etik saja kita dilaporkan ke Dewan etik. Janganlah kita diminta untuk melanggar. Kita harus konsisten,” katanya.   kewenangan MK, , tenggat waktu pengajuan, syarat selisih suara, dan dalil-dalil gugatan yang mempengaruhi perolehan suara.    

Hari ini, Majelis Panel menyidangkan 51 permohonan sengketa pilkada. Misalnya, sidang pendahuluan permohonan sengketa pilkada kabupaten Lima Puluh Kota dan Humbang Hasundutan. Majelis Panel 1 memeriksa permohonan pasangan calon (Paslon) Bupati Lima Puluh Kota Asyirwan Yunus dan Ilson Cong lantaran syarat dukungan pasangan calon pemenang Pilkada Lima Puluh Kota dianggap tidak sah.

Hal tidak terlepas dari keberpihakan dari KPUD Lima Puluh Kota pada pasangan pemenang Pilkada Lima Puluh Kota, Irfendi Arbi dan Ferizal Ridwan sebagai pasangan calon nomor urut 1. “Kita minta mendiskualifikasi pasangan calon yang menang tersebut,” ujar kuasa hukum pasangan Asyirwan-Ilson, Adi Mansar dalam sidang pendahuluan yang diketuai Arief Hidayat.

Adi Mansar menilai KPUD dengan sengaja menunjukan sikap keberpihakan karena tidak mengklarifikasi pasangan Irfendi dan Ferizal yang dianggap tidak pernah mendapatkan dukungan pencalonan dari DPP PPP yang dipimpin Djan Faridz. Padahal telah ada laporan pengaduan masyarakat ke Panwas soal surat pencabutan dukungan. “Ini jelas, KPUD tidak independen yang melanggar asas pilkada,” ungkapnya.

Majelis Panel 2 juga mendengarkan permohonan sengketa pilkada Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara yang digugat tiga pasangan calon yang kalah. Misalnya, salah satu pasangan Marganti Manullang dan Ramses Purba meminta MK menggelar pemungutan suara ulang (PSU) karena KPUD meloloskan dua pasangan calon yang didukung dari 1 partai yang sama, yakni Partai Golkar.

“Kami meminta pemungutan suara ulang di Kabupaten Humbang Hasundutan karena telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh KPUD Humbang Hasundutan,” ujar kuasa hukum Marganti-Ramses, Arco Misen Ujung.

Menurutnya, akibat diloloskannya 2 pasangan dari 1 partai yang sama itu, suara kliennya terpecah. Karenanya, dia meminta pasangan calon nomor urut 4, Pelbet Siboro-Henry Sihombing dan pasangan nomor urut 5, Hari Marbun-Momento Sihombing didiskualifikasi. “Kami menuntut pilkada ulang dengan 3 calon saja. Sedangkan dua pasangan calon nomor urut 4 dan 5 diskualifikasi karena pencalonannya tidak sah,” harapnya.
digelar158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terkait syarat selisih suara minimal di bawah 2 persen sebagai syarat menggugat hasil pilkada.

ada beda cara menghitung selisih suaranya,” ujar Refly saat ditemui di gedung MK, Kamis (07/1).



red

judicial reviewjudicial review

Pasal 158

guardian constitution



open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembentuk Undang-Undang. “Inibukan MK yang menentukan, tetapi UU yang menentukan. Jadi, ya terserah politik hukum pembentuk UU dalam hal ini DPR dan Presiden,” kata Arief, Rabu (06/1) kemarin.



Untuk diketahui, Panel 1 menangani 53 perkara, Panel 2 menangani 41 perkara, dan Panel 3 menangani 53 perkara. Dalam persidangan perdana ini didengar materi permohonan menyangkut identitas, kuasa hukum, legal standing

Selanjutnya, pada 12-14 Januari 2015 sidang akan digelar kembali mendengarkan tanggapan/bantahan pihak termohon (KPUD), pihak terkait (pasangan pemenang pilkada) atas masing-masing permohonan. Lalu, tanggal 15, 16, 17 Januari, MK melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan kelanjutan semua permohonan dengan putusan sela yang sifatnya tertutup dan rahasia. Pada Senin (18/1), MK menjatuhkan putusan sela terhadap 147 permohonan tersebut.

Sidangkan 51 permohonan
Sementara mulai hari ini hingga Senin (11/1) besok, MK menggelar sidang perdana terhadap 147 permohonan Pilkada dari berbagai daerah yang ditangani 3 majelis panel. Panel 1diketuai Arief Hidayat dengan anggota I Dewa Gede Palguna, Manahan MP Sitompul; Panel 2 diketuai Anwar Usman dengan anggota Maria Farida Indrati, Aswanto; dan Panel 3 diketuai Patrialis Akbar dengan anggota Wahiduddin Adams dan Suhartoyo.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait