Terlebih, fakta saat pembahasan setiap undang-undang, bagian lampiran jarang sekali dibahas secara detail dan teliti oleh pembentuk undang-undang. Makanya, tak heran setiap lampiran dalam sebuah undang-undang seringkali bermasalah. Misalnya, pengujian undang-undang terkait Pulau Berhala yang dipersoalkan lampirannya. Bahkan, Lampiran Pembentukan UU Pembentukan Kabupaten baru yang berpisah dari Kabupaten Kutai Barat pernah dipersoalkan di MK, tetapi permohonan dicabut.
“Seharusnya agar persoalan ini tidak menjadi multi interpretasi, seharusnya UU Pemda menyebut eksplisit mencabut pasal-pasal dalam UU Ketenagalistrikan itu. Saya pikir lampiran ini pantas dikritisi karena menganulir substansi norma dalam undang-undang. Ini dibutuhkan peran Mahkamah untuk menjernihkan persoalan ini,” harapnya.
“Pabrik-pabrik yang membutuhkan energi listrik yang besar diberi ruang oleh Kementerian BUMN untuk membangun pembangkit listrik sendiri. Tetapi, kenapa Pemkab/Pemkot yang merupakan bagian dari pemerintah pusat, tidak diberi ruang?”
Saldi berpendapat ketersediaan listrik menjadi salah satu masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Pemadaman listrik bergilir pun menjadi persoalan keseharian. Dia menambahkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sudah menjamin kewenangan daerah menetapkan peraturan daerah terkait otonomi dan tugas-tugas pembantuan.
“Jadi, posisi hukumnya, daerah diberi ruang sebagai daerah otonom untuk menjalankan urusan pemerintah secara mandiri dalam rangka kesejahteraan dalam bingkai NKRI. Ini juga bisa dilihat dari Ketetapan MPR No. 4/MPR/2000 terkait kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam ketetapan tersebut otda dilaksanakan menekankan kemandirian tanpa harus menunggu petunjuk dan pengaturan dari pusat,” dalihnya.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Barat yakni Bupati Ismail Thomas dan Ketua DPRD Jackson John Tawi serta Yustinus Dullah mempersoalkan Lampiran CC angka 5 sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda. Pasalnya, lampiran itu itu hanya memberi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam hal pengelolaan listrik.
Para pemohon merasa dirugikan haknya untuk membangun pembangkit tenaga listrik lantaran saat ini Kabupaten Kutai Barat tengah mengalami kesulitan (tidak stabil) mendapat pasokan listrik dan mahalnya biaya penyambungan listrik. Pemkab Kutai Barat sudah mengurus master plan untuk pembangunan pembangkit energi listrik. Namun, hingga kini masih terkendala proses perizinan karena harus ada persetujuan dari pemprov.
Padahal, Pasal 5 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan memberi kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota mengatur ketenagalistrikan. Karena itu, para pemohon meminta agar Lampiran CC angka 5 sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda dihapus dan kewenangan Pemkab dalam hal pengelolaan kelistrikan mengacu pada UU Ketenagalistrikan.
“Selama ini UU Ketenagalistrikan, kabupaten/kota memiliki berbagai kewenangan dalam ketenagalistrikan seperti penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang ketenagalistrikan, penetapan rencana umum ketenagalistrikan, dan sejumlah kewenangan lain. Jadi, ini ada dua aturan hukum yang berbeda,” ujar Saldi saat memberi keterangan sebagai ahli lewat teleconference dari Kampus FH Unand, Padang, Senin (28/9).
Saldi juga menilai berlakunya Lampiran CC angka 5 Sub Ketenagalistrikan UU Pemda, daerah kabupaten/kota menjadi kehilangan kesempatan memenuhi salah satu kebutuhan dasar masyarakat di sejumlah daerah. Soalnya, perumusan lampiran itu bertentangan dengan norma batang tubuh yang tidak sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Meski UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memungkinkan sebuah undang-undang dengan lampiran, tetapi bagian lampiran tidak boleh bertentangan dengan batang tubuh atau normanya. Penjelasan Umum saja yang posisinya lebih tinggi dari lampiran tidak boleh bertentangan dengan normanya,” kata ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.