MK Putuskan KK-PKP2B Tidak Otomatis Perpanjangan Menjadi IUPK
Terbaru

MK Putuskan KK-PKP2B Tidak Otomatis Perpanjangan Menjadi IUPK

Pemerintah harus mulai melakukan penataan kembali pemberian izin dengan melakukan penertiban dengan skala prioritas sesuai amanat UU Minerba. Permohonan pengujian formil konstitusionalitas UU Minerba harus dinyatakan pula tidak beralasan menurut hukum.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Ketentuan jaminan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Operasi sebagaimana diatur Pasal 169A UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dinyatakan inkonsitusional bersyarat. Putusan bernomor 64/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan Muhammad Kholid Syeirazi selaku Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama dibacakan pada Rabu (27/10/2021) di Ruang Sidang Pleno MK.

Mengutip amar putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian. Mahkamah menyatakan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “diberikan jaminan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat diberikan”. Ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat”.

Dengan begitu, Mahkamah menyatakan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba selengkapnya berbunyi, “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 dapat diberikan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: …”. Sedangkan, Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU No.3 Tahun 2020, selengkapnya menjadi berbunyi:

a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi 175 setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan.

Pemohon mempersoalkan Pasal 169A UU Minerba yang secara umum mengatur perpanjangan IUPK yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah menjelaskan bahwa seleksi untuk pemberian IUPK) harus dilakukan secara ketat dan berpedoman pada ketentuan Pasal 75 UU Minerba. (Baca Juga: Pandangan Ahli Soal Pengujian Formil di Sidang Uji UU Minerba)

Ketentuan Pasal 75 UU Minerba sejatinya telah jelas menyatakan pemberian IUPK pada badan swasta harus dilaksanakan dengan cara lelang Izin Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tanpa membedakan kriteria untuk badan usaha swasta dalam maupun luar negeri. Karena itu, Mahkamah menilai Pasal 169A UU Minerba berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian dengan semangat dalam Pasal 75 UU Minerba.

Terlebih, ketentuan tersebut membenarkan diberikannya jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. Dengan arti, badan usaha (swasta) yang melakukan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara otomatis mendapatkan jaminan perpanjangan menjadi IUPK.

Dalam pandangan Mahkamah, KK maupun PKP2B adalah hubungan hukum yang bersifat privat yang harus sudah selesai pada saat jangka waktu perjanjian tersebut berakhir. Sehingga tidak ada lagi hubungan hukum antara Pemerintah dengan badan usaha swasta yang terdapat dalam KK maupun PKP2B untuk diberikan prioritas jaminan perpanjangan menjadi IUPK, kendati memenuhi persyaratan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba.  

“Karena itu, Pemerintah harus mulai melakukan penataan kembali pemberian izin dengan melakukan penertiban dengan skala prioritas sesuai amanat UU Minerba a quo,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangan putusan.

Menutup peluang usaha

Mahkamah beralasan adanya jaminan pemberian IUPK tersebut juga menutup peluang badan usaha dalam negeri untuk berperan memajukan perekonomian sesuai semangat Pasal 33 UUD Tahun 1945. Karena itu, Mahkamah berpendirian bahwa frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU Minerba serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba bertentangan dengan semangat penguasaan oleh negara dan memberikan peluang kepada badan usaha dalam negeri.

Dengan tidak mengurangi pemberian kesempatan pada badan usaha swasta untuk berkompetisi mendapatkan IUPK dan peran pemerintah agar mendapatkan badan usaha swasta yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan integritas serta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance, maka frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU Minerba harus dimaknai dengan frasa “dapat diberikan” serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba haruslah dimaknai dengan kata “dapat”.

“Maka ketentuan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa ‘diberikan jaminan’ serta Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba sepanjang kata ‘dijamin’ bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon II beralasan menurut hukum untuk sebagian,” sebut Aswanto.

Menolak permohonan lain

Sementara itu, dalam persidangan yang sama, Mahkamah juga memutus Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Mahkamah menolak untuk seluruhnya permohonan tersebut. Dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah menyatakan dalil para pemohon berkenaan dengan UU Minerba seharusnya dibuat dalam bentuk undang-undang penggantian, bukan undang-undang perubahan.

Permohonan denikian dapat dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. Para Pemohon mengaku dirugikan karena pembahasan UU Minerba dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas RUU yang berkaitan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.

Atas hal ini, Mahkamah berpendapat Rapat Paripurna untuk pengesahan RUU Minerba dilaksanakan pada 12 Mei 2020 atau setelah tanggal ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam. Menurut Mahkamah, kehadiran secara fisik dalam pengesahan RUU adalah tetap mutlak sepanjang tidak ada alasan yang kuat menyimpangi syarat tersebut. Namun karena ada alasan yang kuat tersebut (pandemic Covid-19, red), maka kehadiran anggota secara virtual dalam rapat tersebut dapat dipersamakan dengan kehadiran secara fisik, sehingga tetap memenuhi kuorum.

“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai pengesahan RUU Minerba dalam Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat adalah tidak beralasan menurut hukum,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.

Mahkamah juga menolak untuk seluruhnya Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Kurniawan. Pemohon mendalilkan jika materi muatan UU Minerba yang berisi ketentuan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam, yang dalam penyusunannya tidak melibatkan DPD RI.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah telah menyatakan pembentukan UU Minerba tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 60/PUU-XVIII/2020 yang mutatis mutandis menjadi bagian dari pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 59/PUUXVIII/2020. Oleh karenanya, menurut Mahkamah prosedur pembentukan UU Minerba sesuai dengan UUD Tahun 1945. “Maka dari itu, permohonan para Pemohon dalam perkara mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU Minerba harus dinyatakan pula tidak beralasan menurut hukum.”

Tags:

Berita Terkait