MK Tolak Permohonan Provisi Uji Wewenang Hak Angket
Berita

MK Tolak Permohonan Provisi Uji Wewenang Hak Angket

Ada kekeliruan dalam putusan provisi ini karena diputus dengan jumlah hakim konstitusi genap, bukan ganjil.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan provisi yang diajukan beberapa pemohon uji materi beberapa pasal dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait penggunaan hak angket oleh DPR. Namun, putusan ini tidak diambil dengan suara bulat dan lengkap oleh sembilan hakim konstitusi dikarenakan salah satu Hakim Konstitusi Saldi Isra tengah menunaikan ibadah haji.

Pimpinan Majelis MK Anwar Usman menuturkan putusan provisi ini menolak permohonan provisi para pemohon yang diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada Rabu 6 September 2017 dihadiri oleh 8 hakim konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap. Beranggotakan Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Manahan Sitompul, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, dan yang tidak hadir Saldi Isra karena sedang menunaikan ibadah haji.

Dalam putusan provisi ini, suara terbanyak tidak dapat diambil karena empat hakim konstitusi berpendapat permohonan provisi ditolak dan empat hakim konstitusi lain berpendapat permohonan provisi beralasan untuk dikabulkan. Karena itu, menurut Mahkamah berlaku ketentuan Pasal 45 ayat (7) UU MK ketika tidak bisa diambil keputusan suara terbanyak, maka Ketua Majelis MK menjadi suara penentu.   

“Ketentuan Pasal 45 UU MK, apabila tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir yang menentukan adalah ketua sidang pleno,” kata Anwar saat membacakan putusan sela/provisi di sidang pleno pengujian UU MD3 di Gedung MK, Rabu (13/9/2017). (Baca juga: MK Diminta Hentikan Sementara Kerja Pansus Angket KPK)

Anwar menuturkan hakim konstitusi yang berpendapat permohonan provisi ini ditolak adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams. Sedangkan, hakim konstitusi yang menerima permohonan provisi beralasan untuk dikabulkan adalah I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan Sitompul, dan Maria Farida Indrati.

“Berhubung Ketua MK Arief Hidayat termasuk empat hakim yang berpendapat menolak permohonan. Maka, permohonan provisi ini ditolak,” ujarnya.

Permohonan uji materi ini diajukan 4 kelompok pemohon yang berbeda. Yaitu Perkara No. 40/PUU-XV/2017 dengan pemohon Harun Al Rasyid Dkk; Perkara No. 47/PUU-XV/2017 dengan pemohon Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corupption Watch (ICW), Konfederasi Persatuan Buruh Indonedia (KPBI); Perkara No. 37/PUU-XV/2017 dengan pemohon Horas A.M. Naiborhu; serta Perkara No. 36/PUU-XV/2017 dengan Pemohon Achmad Saifudin Dkk.

Intinya, semua pemohon meminta tafsir Pasal 79 ayat (3) UU MD3 sesuai lettelijk bunyi pasal tersebut. Atau Pasal 79 ayat (3) UU MD3 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “tidak dapat dilakukan penyelidikan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.” Beberapa pemohon juga menguji Pasal 199 ayat (3) dan Pasal 201 ayat (2) UU MD3 dan minta ditafsikan secara inkonstitusional bersyarat. Selain itu, para pemohon ini meminta permohonan provisi agar kerja Pansus Angket KPK dihentikan sementara melalui putusan sela (provisi), sampai ada putusan permohonan ini.   

Kekeliruan
Di luar persidangan, Peneliti ICW yang juga Pemohon Donal Faridz mengatakan seharusnya hakim konstitusi dalam memutus permohonan provisi ini dengan kuota jumlah hakim kontitusi ganjil. “Bukan memaksakan RPH dengan jumlah hakim konstitusi yang genap, Ini malah Ketua MK mengeliminir suara dari keempat hakim yang menolak. Ada kekeliruan dalam memutus putusan provisi hak angket ini,” kata dia.

“Ada apa RPH yang dilakukan hari Rabu, sedangkan hakim konstitusi Saldi Isra telah pulang hari Senin. Kenapa tidak hari Senin kemarin saja? Masih ada tenggang waktu tiga hari hingga hari ini. Tetapi kenapa MK malah tidak menunggu keputusan dengan jumlah hakim konstitusi yang ganjil, malah memutus dengan jumlah yang genap?”

Menurutnya, menjatuhkan putusan MK dengan jumlah hakim konstitusi genap bisa dilakukan apabila dalam kondisi permanen. Seperti, kasus Patrialis Akbar yang diadili terkait kasus suap dan belum ada pengganti dari pemerintah untuk menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim kosntitusi. “Kondisi ini bisa dilakukan dengan mengadili dengan jumlah hakim yang genap,” katanya.
Tags:

Berita Terkait