Mudik, Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum Kita
Kolom

Mudik, Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum Kita

Soal kultur hukum, diakui atau tidak, kita masih memandang sebelah mata. Jarang disentuh, apalagi digarap serius.

Bacaan 7 Menit
Fajar Laksono. Foto: RES
Fajar Laksono. Foto: RES

Bagi siapapun yang mudik di momen Lebaran tahun ini, pasti merasakan perbedaan dibanding Lebaran yang sudah-sudah sebelumnya. Silaturahmi dengan keluarga di kampung menjadi berkali-kali lipat maknanya. Itu karena dua Lebaran sebelumnya, kita ‘dikerangkeng’ oleh virus.

Harus diakui, kebijakan boleh mudik lagi melegakan semua pihak. Mirip keran yang tuasnya dibuka, air segera mengucur deras dan berlimpah. Konon, tidak kurang dari 85 juta manusia, di antaranya mengendarai jutaan unit mobil, menjalani ritual mudik. Mudah-mudahan semua mendapat berkah-Nya. Para pemimpin negara dapat pahala menyenangkan rakyatnya. Rakyat memperoleh rahmat gembira ria. Lahir dan batin.

Saya mudik sekeluarga. Lewat jalur darat. Tujuannya dua: Salatiga dan Yogyakarta. Dua keluarga besar bermukim di sana. Menyetir pulang pergi dari Bekasi. Mengaspal jalan tol trans Jawa dengan rentang rute tak kurang dari 467 km sekali jalan. Masuk dari gerbang tol Bekasi Timur, keluar di gerbang tol Salatiga, yang kondang karena background memesona: view Merbabu gagah menghijaubiru. Tujuh jam lamanya. Jadilah saya sebenar-benar ‘pemudik’.

Pulangnya, dari Yogyakarta, menembus jalur Jatinom di Klaten, lalu masuk gerbang tol Boyolali ke arah Bekasi. Mulailah ikut rombongan mengular: arus balik. Masih macet memang, di sejumlah titik, walaupun sudah diterapkan kebijakan cerdas: ‘one way’. Tapi seluruhnya lancar, bisa dinikmati. Dasarnya sudah diniati. Total lima belas jam waktu tempuhnya. Itu termasuk untuk bolak balik berhenti. Isi BBM, sensus atau ‘ngiseni usus’ alias mengisi perut, ke toilet, atau karena capek dan mengantuk. Ikut antri berjejal singgah di setidaknya tiga rest area. Di Pemalang menjelang Brebes. Di Kanci sebelum Cirebon. Satu lagi, di daerah Subang.

Menyetir di lintasan panjang tol itu membuat saya berkali-kali mengucap bersyukur dalam bincang ringan di sepanjang jalan. Tak terbayang jika tol ini belum jadi. Cerita dan berita macet horor di jalur utara maupun selatan pasti lebih ‘sadis’ ketimbang bertahun silam sebelum tol ini ada. Volume kendaraan yang melintas tahun ini, sudah pasti berlipat-lipat jumlahnya. Saya enjoy dengan menjaga waspada. Sembari menguping Tulus melantunkan lagu “Hati-Hati di Jalan”. Terus diulang, mungkin sudah puluhan kali. Di sela-sela itu, saya mencatat dalam ingatan. Begini.

Baca juga:

Taat Hukum karena Kepentingan

Bagi saya, berlalu lintas di sepanjang rute mudik kemarin memperlihatkan banyak hal. Seperti etalase bening benderang memajang potret watak, karakter, dan perilaku manusia Indonesia. Termasuk kultur berhukum (legal culture) dan perilaku hukum (legal behaviour) kita sebagai manusia Indonesia. Semua mahfum adanya, ibarat arena pertandingan, setiap jengkal ruas tol dilekati aturan main. Di atas dan di dalam areanya, ada hukum yang berlaku dan mengikat bagi sesiapapun yang melintasinya. Bentuk dan tampilannya macam-macam.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait