Nama Jalan, Pahlawan, dan Tokoh Hukum
Edisi Khusus:

Nama Jalan, Pahlawan, dan Tokoh Hukum

Jika suatu saat berkeliling kota, pernahkah Anda iseng bertanya asal muasal nama jalan yang Anda lalui? Siapakah tokoh yang namanya ditabalkan di papan kecil di ujung jalan?

Mys/Ash
Bacaan 2 Menit

 

Penabalan nama Sabam Sirait sebagai nama jalan bukan asal-asalan. Bupati menerbitkan Peraturan No. 6 Tahun 2009 sebagai payung hukumnya. Selain Sabam Sirait, nama tokoh-tokoh nasional asal daerah itu menurut rencana akan dipasang.

 

Di Jakarta, menyematkan nama seorang tokoh sebagai nama jalan juga memiliki payung hukum. Terutama untuk jalan arteri dan jalan kolektor. Misalnya, ketika nama Jenderal A.H. Nasution ditabalkan sebagai nama jalan Jakarta Auto Ring Road (JOR) yang melintas mulai dari Kampung Rambutan di Jakarta Timur hingga perbatasan Bekasi dan Cilincing di Jakarta Utara, Pemda DKI Jakarta merujuk pada Keputusan Gubernur No. 958/2004. Secara umum, pemberian nama jalan di DKI Jakarta diatur dalam SK Gubernur No. 28 Tahun 1999.

 

Menurut Maulizar, Kabag Litbang Hukum dan Kerjasama Pemprov DKI Jakarta, penabalan nama seseorang menjadi nama jalan bisa atas usulan perseorangan, kelompok organisasi, atau inisiatif Pemda sendiri. Yang pasti, permohonan itu diajukan secara tertulis ditujukan kepada Gubernur. Usulan itu, kata Maulizar, akan dinilai oleh tim yang disebut Badan Pertimbangan Pemberian Nama Jalan, Taman, dan Bangunan.

 

Badan ini akan melihat pada nilai ketokohan, kepahlawanan atau jasa-jasa orang diusulkan. Sebagian tokoh hukum sudah diabadikan namanya di Jakarta sejak 1966 setelah Pemda mengantongi izin dari ahli waris. Ditambahkan Maulizar, penetapan nama jalan juga didasarkan pada sifat promosi nama yang dipilih, mudah dikenal masyarakat, dan tidak bertentangan dengan kesopanan dan ketertiban umum.

 

Tokoh hukum

Kalau kebetulan berlatar belakang pendidikan hukum, pernahkah Anda bertanya siapa saja tokoh hukum yang namanya diabadikan menjadi nama jalan? Pertanyaan itu tentu akan dilanjutkan dengan pertanyaan lain: siapakah tokoh bersangkutan. Awam mungkin tahu siapa Soekarno-Hatta, Diponegoro, Jenderal Sudirman, atau Imam Bonjol. Tapi, apakah orang tahu siapa Mr. J. Latuharhary, yang namanya diabadikan di pinggir rel kereta api, tak jauh dari stasiun Dukuh Atas, Jakarta?

 

Cobalah membuat deret yang memuat nama tokoh hukum yang diabadikan sebagai nama jalan. Ada nama Prof. Soepomo, Prof. Muhammad Yamin, dan Jalan Sutan Syahrir. Di bandung ada nama jalan Mr Iwa Kusuma Sumantri. Di Jakarta, kita juga mengenal nama jalan DR. Sahardjo, Mr Latuharhary, jalan Kusumah Atmadja, dan Jalan Prof. Djokosoetono. Di kota lain mungkin ada satu dua nama lain. Tetapi, bisa dihitung dengan jari, bukan?

 

Kalau kita telusuri sejarah pendidikan hukum di Indonesia, jumlah tokoh Indonesia berlatar belakang hukum pada masa kemerdekaan sebenarnya relatif banyak. JS Furnivall dalam bukunya Netherlands Indie: a Study of Plural Economy (1949) memuat statistik mahasiswa pribumi yang mengambil bidang studi teknik, hukum dan kedokteran di Belanda. Mahasiswa pribumi yang mengambil hukum tahun 1930-1931 mencapai 142 orang. Bandingkan dengan mahasiswa teknik yang hanya berjumlah 36 orang.

Tags: