Normal Baru Praktik Perusahaan Pembiayaan
Kolom

Normal Baru Praktik Perusahaan Pembiayaan

Secara teknis pelaksanaan normal baru bagi perusahaan pembiayaan adalah adanya formulir surat kuasa menarik objek jaminan disertai pernyataan wanprestasi secara sukarela jika konsumen sebagai debitur lalai membayar angsuran sejumlah yang disepakati.

Bacaan 2 Menit

Pentingnya Normal Baru

Putusan MK tersebut nampak sangat menguntungkan debitur sebagai konsumen, karena debitur yang wanprestasi namun tidak memiliki iktikad baik dapat menggunakan putusan MK tersebut untuk ‘buying time’ yang merugikan perusahaan pembiayaan. Dengan tidak adanya pernyataan wanprestasi secara voluntary maka pernyataan wanprestasi harus dinyatakan melalui putusan pengadilan dan eksekusi objek jaminan perjanjian pembiayaan dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Sesungguhnya putusan MK tersebut meletakkan pihak perusahaan pembiayaan menjadi lebih lemah dibanding konsumen pada saat terjadi kondisi wanprestasi dari konsumen. Tanpa ada pernyataan wanprestasi sukarela artinya perusahaan pembiayaan harus menempuh proses hukum yang relatif lama tanpa ada pembayaran dari debitur sedangkan objek jaminan masih dikuasai oleh debitur.

Putusan MK tersebut juga membawa konsekuensi perubahan kondisi penguasa yang sah (beziter) atas objek jaminan, sebelum putusan MK tersebut jika debitur lalai melakukan kewajibannya sesuai kontrak pembiayaan maka debitur bukan lagi sebagai penguasa yang sah oleh sebab itu perusahaan pembiayaan dengan grose akta dapat menarik objek jaminan fidusia karena penguasa yang sah (beziter) beralih pada pemegang sertifikat fidusia. Pasca putusan MK tersebut penguasa yang sah atas objek jaminan akan ditentukan melalui putusan pengadilan.

Pentingnya membentuk new normal (normal baru) dalam praktik perusahaan pembiayaan adalah dengan mengacu pada pendapat Samuel Burundy (2004), bahwa jaminan fidusia tidak dapat dilepaskan dari enforcing contract standard, mengingat objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang menyusut nilainya oleh waktu. Dalam hal ini mengingat banyak perjanjian pembiayaan yang mengalami restrukturisasi dan rescheduling pasca terjadinya pandemi Covid-19. Demikian juga dalam perspektif economic analysis of law, dalam hal ini putusan MK tersebut dapat dipandang sangat merugikan perusahaan pembiayaan (leasing) karena sangat costly, dengan banyaknya perkara di pengadilan tentu akan menghabiskan banyak waktu dan biaya ditambah kondisi jaminan yang sudah mengalami depresiasi (penurunan nilai) seandainya bisa dikuasai kembali melalui putusan pengadilan.

Normal Baru

Oxford Dictionaries (2019), mendefinisikan new normal (normal baru) sebagai  “A previously unfamiliar or atypical situation that has become standard, usual or expected”. Normal baru dalam praktek perusahaan pembiayaan adalah kreditur tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan akta jaminan fidusia seperti sebelumnya, mengingat sifat grose akta telah diredusir oleh putusan MK tersebut.

Sebaliknya pasca pandemi dan di tengah adanya banyak konsumen yang melakukan restrukturisasi maupun rescheduling, dalam hal ini perusahaan pembiayaan juga memerlukan pertumbuhan usaha dengan ekspansi pemberian pinjaman yang sehat. Artinya pada penerapan normal baru, pada praktek perusahaan pembiayaan maka klausula pernyataan wanprestasi secara sukarela menjadi hal penting dalam perjanjian pembiayaan.

Secara teknis pelaksanaan normal baru bagi perusahaan pembiayaan adalah adanya formulir surat kuasa menarik objek jaminan disertai pernyataan wanprestasi secara sukarela jika konsumen sebagai debitur lalai membayar angsuran sejumlah yang disepakati. Sebagai bagian dari normal baru dalam hal ini kontrak harus dilampiri dengan formulir yang ditandatangani debitur diawal perjanjian pembiayaan (sebelum dana dicairkan) dan menjadi satu kesatuan dengan perjanjian pembiayaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait