Notaris: Pejabat Umum yang Bukan Pejabat Negara
Edsus Lebaran 2010:

Notaris: Pejabat Umum yang Bukan Pejabat Negara

Profesi notaris tetap menjadi incaran banyak sarjana hukum. Bertugas di kota besar tetap dianggap lebih pas dan lebih menjanjikan dari sisi finansial.

Mys/Fat/Ash
Bacaan 2 Menit

 

Formasi

Jumlah notaris terus bertambah setiap tahun. Pada awal 2010 Menteri Hukum dan HAM sudah melantik dua ribuan notaris baru yang akan ditempatkan di seluruh Indonesia. Peluang penyebaran notaris semakin terbuka seiring dinamika pemekaran wilayah. Kini ada 500-an kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

 

Namun dalam praktik, formasi notaris telah menjadi salah satu problem yang mungkin paling memusingkan Kementerian Hukum dan HAM. Sebagian notaris enggan untuk bertugas di daerah yang masuk kategori ‘kering’; sebagian besar lebih suka bertugas di kot-kota besar. Keinginan untuk tetap bertugas di kawasan ‘basah’ itu sudah tertanam sejak awal di benak calon notaris. “Tentunya saya berharap bisa praktik di Jakarta nanti,” kata Rizki, seorang mahasiswa magister kenotariatan.

 

Inilah yang menyebabkan formasi notaris di Indonesia tidak merata. Ada daerah tertentu yang kekurangan notaris khususnya di luar Pulau Jawa, sebaliknya ada daerah yang kelebihan. “Seharusnya notaris bersedia ditempatkan dimana saja,” kata notaris asal Surabaya, Habib Adjie.

 

Seorang notaris di Tembilahan Riau tak terlalu ambil pusing soal penempatan dirinya ke kawasan itu. Sebab, jika semua notaris berpikiran sama –ingin bertugas di  kota besar- niscaya tak akan bisa melayani kepentingan masyarakat luas. Itu pula sebabnya, Pemerintah menetapkan sistim buka tutup dalam formasi notaris. Daerah seperti Jakarta sudah acapkali dinyatakan sebagai zona tertutup untuk pengangkatan notaris baru.

 

Pengaturan formasi yang amburadul membuat jumlah notaris di suatu tempat menumpuk. Tengok saja di sepanjang Jalan Margonda Raya Depok, Jawa Barat, dan ibukota provinsi. Jarak antara satu kantor notaris dengan notaris lain hanya puluhan meter. Sementara di banyak ibukota kabupaten, hanya ada satu dua notaris. Bahkan menurut Habis Adjie, masih ada ibukota kabupaten yang nihil notaris.

 

Payung hukum

Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) termasuk yang sering dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan kalangan notaris pun sempat mempersoalkannya. Payung hukum jabatan notaris ini dinilai mengandung kelemahan. Apapun pandangan tentang kelemahan itu, yang jelas hingga kini UU No. 30 Tahun 2004 masih menjadi pijakan bagi semua notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

 

Sebelum 2004, notaris berpayung pada peraturan peninggalan Belanda. Ada Reglement op het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl 1860 No. 3) dan Ordonansi 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris. Setelah merdeka, ada Undang-Undang No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Payung hukum lain tersebar di Undang-Undang bidang peradilan lantaran notaris diawasi oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait