Operasi Yustisi Lagi, Ditentang Lagi
Berita

Operasi Yustisi Lagi, Ditentang Lagi

Usai hiruk-pikuk Lebaran, giliran Pemprov ketiban pulung menertibkan arus pendatang dari daerah. Lagi-lagi LSM tentang Operasi Yustisi.

M-4
Bacaan 2 Menit
Operasi Yustisi Lagi, Ditentang Lagi
Hukumonline

 

Menghadapi arus urbanisasi musiman seperti yang terjadi sekarang, pemberlakukan Pasal 51 Perda No. 4 Tahun 2004 secara rigid kurang efektif. "Sekarang mereka ini menggunakan Perda Tibum 2008," ujar Direktur LBH Jakarta Asfinawati yang akrab dipanggil Asfin (6/10). Sebetulnya, tambah Asfin, perda tersebut bermasalah. Saat ini perda tersebut sedang diperiksa di MA atas permohonan judicial review yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil beberapa waktu lalu.

 

Asfin berharap pemberlakuan perda tersebut ditunda sepanjang belum ada putusan terhadap judicial reviewnya. Bahkan selayaknya diberlakukan status quo atas perda tersebut. "Harusnya bila Pemda DKI patuh hukum dan punya kebijakan yang baik, mereka tidak akan memberlakukan perda yang masih dipermasalahkan," imbuh Asfin lagi.

 

Perda Tibum

Asfin mengerti pihak Pemprov DKI akan tetap memberlakukan Perda Tibum 2008 tersebut untuk melandasi Operasi Yustisi sepanjang belum ada tuntutan. Namun pihaknya melihat bahwa mobilitas warganegara jelas-jelas dijamin oleh konstitusi. "Dari analisis awam saja, benturan perda dengan kepentingan konstitusi menyebabkan Operasi Yustisi harus tidak diberlakukan lagi," tandasnya.

 

"Operasi Yustisi itu kan lintas perda," ujar Asfin," untuk menciduknya dia pakai perda tibum, untuk apa yang diciduk pakai perda yang lain."  Ia tegas menyatakan tidak setuju bila Perda No.4 Tahun 2004 menjadi pengganti Perda Tibum yang sedang dipermasalahkan.

 

Alasannya, hukum menganut kesesuaian dengan aturan di atasnya, bagaimana harmonisasi dengan aturan yang lebih tinggi dan lain-lain. Maka, bila penguasa terus memaksakan berlakunya suatu aturan yang masyarakat bilang melanggar konstitusi, sebenarnya itu sedang berjalan suatu tirani hukum positif.

 

"Itu menjadi tirani hukum karena penguasa memberlakukan hukum yang memang ada tapi hukum itu bermasalah," Asfin menerangkan dengan gamblang. Dia menegaskan seharusnya tidak lagi ada operasi yustisi. Pertama, karena operasi itu sudah sangat tidak tepat dengan semangat pemerintah pusat yang sedang memasyarakatkan Millenium Development Goals (MDGs).

 

MDGs mempunyai kecenderungan pro-poor policy karena bertujuan memberantas kemiskinan. Sehingga kebijakan Operasi Yustisi yang bias rakyat miskin tersebut kurang tepat untuk situasi sekarang ini. "Evaluasinya adalah adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pemerintah pusat dengan kebijakan pemerintah daerah, khususnya Pemda DKI," Asfin menyimpulkan.

 

Asfin melihat pelaksanaan Operasi Yustisi juga mengandung banyak masalah. "Karena dia diskriminatif," tegasnya. Selain dilaksanakan di terminal dan stasiun, pihaknya mendapat laporan Satpol PP dan polisi juga ke kontrakan-kontrakan dan garmen-garmen kecil.

 

Razia tersebut diakui Asfin sebagai inisiatif dari pemda, bukan berdasarkan laporan masyarakat. "Jadi mereka masuk saja, ngetok-ngetok lalu mengecek," ungkapnya. Asfin lebih setuju bila yang  dicek adalah kantor dinas pemerintahnya. Untuk mengetahui pihak pemerintah sudah memberi identitas atau belum ke penduduk.  Menurutnya, Operasi Yustisi itu ada karena berkembangnya stigma bahwa pendatang adalah orang yang akan melakukan kejahatan di kota.

 

Kasus salah tangkap juga sering terjadi pada orang-orang berpakaian lusuh yang berada di pinggir jalan. "Ada yang dikurung," serunya getir, "Ada juga yang mengalami tindak kekerasan." 

 

Meskipun aparat yang diturunkan merupakan gabungan dari Satpol PP dan kepolisian, masyarakat lebih banyak yang melaporkan tindakan represif datangnya dari Satpol PP. "Karena yang garda depannya Satpol PP," ujar Asfin singkat.

Operasi Yustisi pasca-Lebaran yang digelar Gubernur DKI Jakarta tiap tahunnya selalu mengundang cibiran. Tak terkecuali tahun ini, saat Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang mendapat giliran.

 

HRWG langsung angkat suara atas rencana Operasi Yustisi 2008. Dalam pernyataan persnya (5/10), Koordinator HRWG Rafendi Djamin menyatakan bahwa tindakan represif dalam bentuk razia tersebut merupakan warisan kolonial yang biasa diterapkan dalam sistem pemerintahan yang fasis. Pelaksanaan Operasi Yustisi dianggap HRWG sebagai kebijakan yang tidak peka terhadap kondisi rakyat.

 

"Jelas merupakan kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan pro-rakyat miskin," tegas Rafendi sebagaimana dikutip dari pernyataan persnya. HRWG menyarankan Operasi Yustisi diganti dengan operasi lain dengan pendekatan preventif dan mendidik. Seperti melalui pencatatan dan pendataan rutin bagi seluruh penduduk DKI Jakarta.

 

Alasannya, Operasi Yustisi merupakan tindakan pelanggaran HAM. Antara lain, hak dasar bagi tiap warga negara untuk bergerak bebas (freedom of movement) dalam mendapat pekerjaan layak serta perlindungan dari diskriminasi dalam razia pemeriksaan asal-usul. Terlepas dari sikap kontra tersebut, Operasi Yustisi sendiri telah disahkan derap langkahnya melalui Peraturan Daerah (Perda) No.4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Provinsi DKI Jakarta.

 

Perlu diketahui, target Operasi Yustisi adalah pendatang gelap. Dalam Pasal 19 ayat (1) dan (4) Perda No. 4 Tahun 2004, pendatang yang telah mencapai usia dewasa atau pernah menikah wajib memiliki Kartu Tanda Pendatang, selambatnya 14 hari setelah kedatangannya dari daerah. Berdasarkan Pasal 51 Perda No. 4 Tahun 2004, pelanggaran terhadap Pasal 19 ayat (1) ini yang ditindak dengan pidana kurungan maksimal tiga bulan atau denda maksimal Rp5 juta.

Tags: