Quo Vadis Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional
Kolom

Quo Vadis Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional

Optimalisasi program JKN oleh BPJS berikutnya perlu memperhatikan aspek kepastian dan keadilan hukum.

Bacaan 4 Menit

Jumlah serta biaya katastropik dalam program JKN tahun 2020 yang dihimpun oleh Kementrian Kesehatan terdapat 11.592.990 kasus penyakit jantung dengan total biaya Rp8.296.354.456.255, dengan rata rata biaya per kasus Rp715.635. Penyakit kanker sebanyak 2.294.114 kasus dengan biaya Rp3.133.505.324.175, dan rata-rata biaya per kasus Rp1.365.889. Sedangkan penyakit Stroke sebanyak 1.789.261 kasus dengan total biaya Rp2.136.374.082.295 dan rata-rata biaya per kasus Rp1.193.998.

Dikutip dari laporan Kementerian Kesehatan, penyakit katastropik merupakan penyakit yang membutuhkan biaya tertinggi dalam pelayanan Kesehatan JKN. Rokok menjadi penyebab utama penyakit jantung, kanker, stroke, infeksi saluran pernapasan dan memicu penyakit katastropik lainnya. Sedangkan BPJS tidak memberikan kebijakan berbeda bagi anggotanya yang menjadi perokok.

Seharusnya program BPJS menerapkan kebijakan keadilan distributif dalam memberikan keadilan bagi para anggotanya, walaupun kebijakan JKN wajib dilaksanakan bersifat inklusif dengan tidak mendiskriminasi masyarakat. Namun penyelenggaraan JKN harus tetap memperhatikan keadilan secara distributif.

Pro dan Kontra Kebijakan Optimalisasi JKN 

Direktur Utama BPJS Ali Ghufron Mukti menegaskan bahwa optimalisasi JKN melalui Inpres adalah langkah pemerintah untuk memastikan seluruh masyarakat mendapatkan perlindungan kesehatan melalui program JKN. Hal yang disebutkan oleh Direktur Utama BPJS tersebut benar dan sesuai dengan amanat perundang-undangan yang mewajibkan keanggotaan BPJS bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan JKN dalam memberikan pemerataan akses pelayanan kesehatan nasional.

Namun di sisi lain masyarakat berkeberatan jika BPJS menjadi syarat mengurus pelbagai izin. Pasalnya pencabutan hak dalam memperoleh pelayanan administrasi negara sebagai sanksi administratif akibat tidak mendaftar atau membayar iuran BPJS harus dilakukan atas permintaan BPJS. Pemerintah tidak dapat secara langsung mengenakan sanksi kepada masyarakat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 17 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018jo. Pasal 17 ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS diterangkan bahwa pengenaan sanksi administratif dalam bentuk tidak mendapat pelayanan publik tertentu, dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Bukan dari permintaan masing-masing Lembaga pemerintah atas dasar Inpres, maka muatan Inpres tersebut patut dipertanyakan. 

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, memang telah memberikan nilai kebermanfaatan dalam bentuk penguatan atau optimalisasi kewajiban masyarakat dalam menjadi anggota JKN melalui BPJS. Hal ini sesuai amanat pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan Nasional dan bagian menimbang Undang-undang 24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Dari sisi kepastian hukum justru isi Inpres Nomor 1 Tahun 2022 memiliki norma yang bertentangan dengan ketentuan ketentuan Pasal 17 Perpres Nomor 82 Tahun 2018 jo. Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS.

Inpres memberikan dasar bagi kementerian lain untuk tidak memberikan pelayanan administrasi kepada masyarakat yang bukan merupakan anggota BPJS. Sedangkan Perpres JKN dan Undang-undang BPJS mengatur bahwa sanksi administratif hanya dapat dilaksanakan atas permintaan BPJS kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Dari segi keadilan, Inpres Nomor 1 Tahun 2022 juga belum memuat solusi terhadap permasalahan dalam pengelolaan dan pelaksanaan JKN oleh BPJS. Oleh karena itu optimalisasi program JKN oleh BPJS berikutnya perlu memperhatikan aspek kepastian dan keadilan hukum.

*)Djarot Dimas Achmad Andaru, S.H.,M.H., Dosen dan Peneliti Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Univeristas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait