Pakar Pidana UGM Beberkan Kerancuan Sistem Pemidanaan dalam UU Cipta Kerja
Utama

Pakar Pidana UGM Beberkan Kerancuan Sistem Pemidanaan dalam UU Cipta Kerja

Mulai tidak konsisten menerapkan asas ultimum remedium; tidak memenuhi kriteria hukum pidana administratif; kurang cermat merumuskan sanksi pidana yang mengakibatkan kematian yang menimbulkan disparitas; hingga tidak ada harmonisasi antara ketentuan pidana dalam satu UU dengan UU lain.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

“Ini kan lucu. Seharusnya perbuatan yang berakibat kematian ancaman pidananya lebih berat dalam bentuk kumulasi (gabungan antara penjara dan denda, red) dan bukan bentuk alternatif,” bebernya.

Ketiga, UU Cipta Kerja yang menghimpun 76 UU yang masing-masing memiliki ketentuan pidana. Menurutnya, ketika disatukan dalam sebuah UU (omnibus law), semestinya adanya harmonisasi antara ketentuan pidana dalam satu UU dengan UU lain, dan tak hanya merujuk pada pasal UU existing.  

“Ternyata pembentuk UU tidak melakukan sinkronisasi (harmonisasi, red) terhadap ancaman pidana yang terdapat dalam 76 UU. Apa akibatnnya? Pasti terjadi disparitas (pembedaan) ancaman pidana. Dan ini menimbulkan ketidakadilan dalam penegakan hukum.”

Prof Eddy mencontohkan, perbuatan yang mengakibatkan mati pada klaster UU tentang Lingkungan Hidup hanya dikenakan ancaman pidana maksimum 1 tahun penjara. Sementara perbuatan dengan akibat yang sama pada klaster UU tentang Perikanan dikenakan ancaman pidana maksimum 6 tahun penjara. Bahkan, ada ketentuan yang sama jika mengakibatkan mati, hanya dikenakan denda maksimum Rp500 juta.

“Ini tidak sinkron. Seharusnya terhadap akibat yang sama (menimbulkan kematian, red) sanksi pidananya harusnya sama,” katanya.

Senada, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai penerapan sanksi pidana dalam UU Cipta Kerja kurang tepat. UU Cipta Kerja mengatur soal sanksi administratif yang sedikit mengatur sanksi pidana. Karena itu, semestinya sanksi pidana merupakan alternatif terakhir (ultimum remedium) bila sanksi administratif tak berfungsi atau tak berjalan.

Menurutnya, sebuah UU bila terjadi pelanggaran asas, khususnya dalam pengaturan sanksi pidana yang tidak konsisten dan menimbulkan interpretasi, maka UU tersebut tak dapat dilaksanakan sebagaimana semestinya alias nonexecutable. Baginya, bila UU Cipta Kerja tetap dipaksakan keberlakuannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

“Perlu harmonisasi dan sinkronisasi ketentuan-ketentuan sanksi pidana sesuai asasnya. Penyelesaiannya melalui Perppu untuk menunda atau bahkan sekalian legislative review oleh DPR bersama Presiden ketimbang diterapkan menimbulkan kekacauan hukum,” sarannya.

 

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait