Pansus Angket KPK Versus Probabilitas Pemanggilan Paksa dan Penyanderaan
Utama

Pansus Angket KPK Versus Probabilitas Pemanggilan Paksa dan Penyanderaan

Kapolri menegaskan, kemungkinan besar tidak dapat melakukan pemanggilan paksa Miryam S Haryani karena hambatan hukum acara.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo. Foto: RES
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo. Foto: RES
Guna mengklarifikasi surat pernyataan mantan anggota Komisi II DPR yang merupakan tersangka kasus pemberian keterangan tidak benar dalam kasus korupsi e-KTP, Miryam S Haryani, Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK telah melayangkan surat Nomor: PW/10403/DPR RI/VI/2017 tanggal 14 Juni 2017 kepada KPK untuk menghadirkan Miryam.   Namun, KPK menolak menghadirkan Miryam. Melalui surat Nomor: B-3615/01-55/06/2017 tanggal 19 Juni 2017, KPK menjelaskan sejumlah alasan mengapa tidak dapat menghadirkan Miryam dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus Angket KPK.   Pertama, berdasarkan hasil ekspos KPK terhadap perkara Miryam, penyidik KPK menyimpulkan tidak dapat menghadirkan Miryam. Kedua, sesuai Pasal 3 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.    
Penjelasan Pasal 3 UU KPK
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
  Ketiga, surat permintaan untuk menghadirkan Miryam bukan ditandatangani oleh Ketua Pansus, melainkan Wakil Ketua DPR. Keempat, hingga kini, KPK belum mengetahui secara resmi adanya Keputusan DPR tentang Pembentukan Pansus Angket DPR RI terhadap KPK. Padahal, bila mengacu Pasal 202 ayat (1) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang telah diubah dengan UU No.42 Tahun 2014 (UU MD3), Panitia Angket ditetapkan dengan Keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara.   Seperti diketahui, Miryam saat ini sedang menjalani penahanan di KPK. Dalam suratnya, KPK berpendapat, upaya untuk menghadirkan Miryam dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan () sebagaimana ketentuan Pasal 21 UU Tipikor.   Terlebih lagi, KPK menyatakan belum menerima pemberitahuan mengenai materi atau substansi yang akan menjadi objek pemeriksaan oleh Pansus Angket. Polemik pemanggilan Miryam ini berbuntut pada wacana Pansus Angket KPK untuk menggunakan mekanisme pemanggilan paksa dalam UU MD3.   Sesuai Pasal 204 ayat (1) dan (2) UU MD3, Panitia Angket dapat memanggil warga negara Indonesia (WNI) dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan. Mereka pun wajib hadir memenuhi panggilan Panitia Angket.   Kemudian, Pasal 205 ayat (1) UU MD3 mengatur, dalam melaksanakan hak angket, Pansus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Ayat (3)-nya menyebutkan, pihak yang diminta hadir, wajib hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada Pansus. Jika tidak dapat hadir karena suatu alasan yang sah, maka sesuai ayat (4), Pansus dapat menunda pelaksanaan rapat.  
Pasal 205 UU MD3Pasal 204 UU MD3
(5) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir tanpa alasan yang sah, atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta satu kali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan.
(6) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang sah atau menolak hadir, yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atas permintaan panitia khusus.
(7) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) hari oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan atas permintaan pimpinan DPR kepada kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5) Pendanaan untuk pelaksanaan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan pada anggaran DPR.
  Jadi, berdasarkan UU MD3, apabila pihak yang diminta hadir oleh Pansus Angket menolak hadir, DPR dapat menggunakan Kepolisian untuk melakukan pemanggilan paksa. Manakala, pemanggilan paksa juga tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, maka pihak yang diminta hadir itu dapat dikenakan penyanderaan.   Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya tetap menghormati kewenangan konstitusional DPR dalam melakukan pengawasan. Namun, KPK dan DPR berkewajiban mematuhi aturan hukum yang berlaku, baik UU KPK maupun UU MD3. "Jangan sampai proses hukum yang berjalan di peradilan, yang akan kami limpahkan ke pengadilan ditarik-tarik kepada proses politik," katanya, Senin (19/6).   Sebelum menjawab surat panggilan yang dilayangkan DPR, KPK telah menerima masukan dari para ahli hukum. Baik ahli yang diundang KPK untuk berdiskusi, maupun ahli yang datang ke KPK untuk menyampaikan pendapatnya. Bahkan, beberapa waktu lalu, 135 pengajar hukum tata negara yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) juga telah memberikan masukan kepada KPK.   Dari semua masukan tersebut, sambung Febri, satu catatan paling penting adalah KPK harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memastikan bahwa aspek independensi KPK yang diatur dalam UU KPK tidak terganggu. Lantas, bagaimana dengan Kepolisian? Sebab, sesuai UU MD3, Kepolisianlah yang akan melakukan pemanggilan paksa.   Usai bertemu pimpinan KPK, Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengaku sudah melakukan kajian internal terhadap permintaan untuk menghadirkan paksa orang yang dipanggil oleh DPR. Permintaan pemanggilan paksa semacam itu telah diterima Polri beberapa kali.   "Dan, dalam setiap kesempatan kami sampaikan bahwa meski UU MD3 memberikan kewenangan kepada DPR untuk meminta bantuan kepada kepolisian untuk menghadirkan paksa seseorang yang dipanggil, bahkan dapat dikenakan sanksi penyanderaan, tetapi persoalannya adalah kita melihat hukum acaranyadalam UU itutidak jelas, tidak ada hukum acaranya," ujarnya.   Tito menjelaskan, apabila dikaitkan dengan KUHAP, menghadirkan seseorang secara paksa sama saja seperti ketika Polri melakukan pemanggilan yang disertai dengan surat perintah membawa atau melakukan penangkapan. Sementara, penyanderaan, sama seperti ketika Polri melakukan penahanan.   Menurutnya, kedua upaya tersebut merupakan upaya paksa yang dapat dilakukan kepolisian dalam rangka penegakan hukum atau tindakan . "Selama ini penangkapan dan penahanan, kami lakukan, itu dalam rangka peradilan. Nah, sehingga ini terjadi kerancuan hukum kalau kami melihatnya," katanya.   Karena itu, Tito menegaskan, jika nanti ada permintaan DPR untuk menghadirkan paksa ke KPK, kemungkinan besar Kepolisian tidak bisa melaksanakan karena adanya hambatan hukum acara yang tidak jelas. Ia juga mempersilakan bila ada ahli-ahli hukum yang ingin menyampaikan pendapatnya.   "Kedua, mungkin juga dari DPR bisa meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA) agar lebih jelas. Yang jelas, dari kepolisian menganggapnya, ini hukum acaranya tidak jelas. Ini sudah merupakan domain upaya paksa. Upaya paksa kepolisian selalu dalam koridor ," tegasnya.   Mengetahui sikap Polri, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengaku terkejut. Sebab, ia dan beberapa anggota Komisi III DPR seperti Benny K Harman, Sarifuddin Sudding, Azis Syamsudin, Ahmad Yani, Desmond J Mahesa masih ingat betul bagaimana penyusunan UU MD3.   Ia mengatakan, justru rumusan Pasal 204 dan 205 UU MD3 adalah permintaan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman. Kala itu, Kapolri berpendapat, rumusan tersebut sudah cukup untuk Polri dalam melaksanakan perintah DPR.   "Tidak perlu diatur lebih rinci. Itu dikemukakan Polri untuk menjawab permintaan anggota pansus RUU MD3 dari Demokrat Benny K Harman agar pasal tentang masalah pemanggilan paksa diatur secara tegas dalam UU MD3," tutur Politikus Golkar yang juga anggota Pansus Angket KPK tersebut, sebagaimana dikutip dari kantor berita .   Setelah itu, lanjut Bambang, lahirlah UU No.17 tahun 2014 tentang MD3 yang mengatur secara tegas dan jelas tentang tata cara dan pelaksanaan pemanggilan paksa yang diatur Pasal 204 dan 205. Bahkan, dalam Pasal 204 ayat (5) UU MD3 dijelaskan bahwa pendanaan pemanggilan paksa dibebankan ke DPR.   "Nah, kalau sekarang Polri tiba-tiba menolak, masa DPR harus minta bantuan Kopassus atau TNI, sementara di UU jelas, itu tugas Polri," ucap Bambang.     Selain pemanggilan paksa, Pasal 205 ayat (7) UU MD3 juga memberikan kewenangan kepada pihak berwajib untuk melakukan penyanderaan paling lama 15 hari atas permintaan Pansus atau DPR.   Terkait pemanggilan paksa ini, pengamat hukum tata negara Refly Harun berpendapat, seharusnya Polri tidak menolak permintaan bantuan DPR untuk menghadirkan Miryam. Hanya saja, Polri pun tidak dapat memasuki wilayah institusi penegak hukum lain, yaitu KPK. Polri dan KPK sama-sama penegak hukum.   "Kalau KPK tidak mengizinkan (pemeriksaan Miryam), maka kemudian harusnya (DPR) minta fatwa ke MA. Ini kan jalan keluar yang saya tawarkan. Cuma kan kita begini. Sebagai bangsa sering sekali kita tidak taat berhukum. Pansus itu sendiri awalnya sudah ‘menabrak’ koridor UU, sehingga wajar kalau KPK menolak," terangnya kepada , Rabu (20/6)   "Lalu, KPK sendiri lembaga penegakan hukum dan sedang melakukan terhadap Miryam. Jadi, dengan melibatkan Polri, menurut saya, serba salah jadinya, karena sama-sama penegak hukum," imbuhnya.   Sebenarnya, praktik pemanggilan paksa dapat ditemukan dalam hukum acara perdata dan pidana. Dalam hukum acara perdata yang bersumber pada (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB), pemanggilan paksa disebut sebagai perintah membawa saksi untuk menghadap ke pengadilan.   Lazimnya, perintah membawa oleh pengadilan negeri ini dilakukan jika sebelumnya saksi yang dianggap dapat meneguhkan kebenaran dalil penggugat atau tergugat yang tidak mau menghadap ke pengadilan. Sesuai Pasal 141 HIR, jika saksi yang dipanggil untuk kedua kali tetap tidak datang, maka ketua dapat memerintahkan supaya saksi dibawa menghadap ke pengadilan negeri untuk memenuhi kewajibannya.   Sementara, dalam hukum acara pidana, pemanggilan paksa dapat dilakukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, mulai dari penyidikan hingga proses persidangan. Dalam proses penyidikan misalnya, Pasal 112 ayat (2) KUHAP menyatakan, orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.   Demikian pula dengan penyanderaan. Aturan mengenai penyanderaan dapat ditemukan dalam hukum acara perdata dan pidana. Dalam acara perdata misalnya, Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan pihak yang memenangkan perkara dapat memerintahkan penyanderaan () kepada orang yang berkuasa untuk menjalankan surat sita, supaya orang yang berhutang memenuhi keputusan pengadilan.   Dalam acara pidana, aturan mengenai penyanderaan dapat ditemukan dalam Pasal 161 KUHAP. Pasal itu mengatur, ".

Selain kitab undang-undang hukum acara pidana dan perdata, upaya paksa semacam ini juga ditemukan dalam ketentuan perpajakan, yaitu UU No.19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Surat Paksa dimaksud adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.Sedangkan, penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.

Sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU No.19 Tahun 2000, surat paksa dan perintah penyanderaan diterbitkan oleh pejabat penagih pajak yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat dan Kepala Daerah untuk penagihan pajak daerah. Sebagai pelaksana surat paksa dan surat perintah penyanderaan adalah juru sita pajak.

Berikut tabulasi sejumlah aturan mengenai penyanderaan:
No. Aturan
1. KUHAP
2. HIR
3. UU No.49 PRP Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
4. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Berlakunya PERMA ini mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 1964 dan SEMA No.4 Tahun 1975
5. UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
6. PP No. 137 tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
7. SKB Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. M-02.UM.01 tahun 2003 dan No. 294/KMK.03/2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak Yang disandera di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
8. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-218/PJ/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera
9. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


Baca Juga: KPK Dinilai Contempt of Parliament





obstruction of justice

















Baca Juga: Kapolri: Ada Saksi Melihat Saat Novel Disiram Air Keras

Koridor pro justitia


pro justitiapro justitia 



pro justitia





Antara



Baca Juga: Pasal Ini Jadi Alasan Hak Angket Berbahaya Bagi Independensi KPK





hukumonline

due process of law

Herzien Inlandsch Reglement





gijzeling

dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari"
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait