​​​​​​​Paradoks Perjanjian Kerjasama antara APIP dan APH Oleh: Enrico Simanjuntak*)
Kolom

​​​​​​​Paradoks Perjanjian Kerjasama antara APIP dan APH Oleh: Enrico Simanjuntak*)

​​​​​​​Sebelum perjanjian ini benar-benar diterapkan lebih jauh masih terbuka ruang untuk merevisinya, agar disesuaikan dengan koherensi berbagai legislasi dan regulasi terkait maupun kaidah hukum lain yang lebih relevan.

Bacaan 2 Menit
Enrico Simanjuntak. Foto: Istimewa
Enrico Simanjuntak. Foto: Istimewa

Substansi Perjanjian Kerjasama

Di balik “kontroversi” pemberitaan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mewakili Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan aparat Penegak Hukum (APH), Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tertanggal 28 Februari 2018 lalu seperti dimuat Kompas, 02/03/81, sesungguhnya terdapat beberapa isu krusial yang patut dikaji secara lebih substantif. PKS ini dimaksudkan untuk membangun koordinasi antara APIP dan APH terkait penanganan pengaduan masyarakat dalam hal pemberantasan tipikor.

 

Terkait hal tersebut, dibedakan kriteria dan tindak lanjut antara kesalahan administrasi dan kesalahan pidana. Kriteria kesalahan administrasi dimaksud adalah sebagai berikut: (a) Tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah; (b) Terdapat kerugian keuangan negara/daerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK; (c) Merupakan bagian dari diskresi, sepanjang terpenuhi tujuan dan syarat-syarat digunakannya diskresi atau (d) Merupakan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sepanjang sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik (Pasal 7 ayat 2 dan 4). Dalam hal tertangkap tangan, koordinasi antara APIP dan APH tidak berlaku (Pasal 7 ayat 6).

 

Paradoks Perjanjian Kerjasama

Baik secara eksplisit dan implisit, UU Pemda dan UUAP mengkonstruksikan agar APIP bertugas mengawasi dan mengusut kesalahan administrasi organ pemerintahan sedangkan APH bertugas mengusut dan menindaklanjuti kesalahan pidana. Namun dalam batas penalaran yang wajar, sulit untuk tidak mengatakan bahwa substansi perjanjian kerjasama ini justru mendegradasi ruang lingkup kesalahan administrasi.

 

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, ketentuan pasal 7 dari PKS ini mengecualikan unsur kerugian keuangan negara baik dengan atau tanpa disertai penyalahgunaan wewenang yang sejatinya merupakan pembatas antara pertanggung-jawaban administrasi dan pidana sebagaimana digariskan UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).

 

Mengacu kepada UUAP, hasil pengawasan APIP antara lain dapat berupa temuan kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara dengan atau tidak disertai adanya penyalahgunaan wewenang (Pasal 20 ayat (1) dan (2)). Apabila kerugian keuangan negara disertai penyalahgunaan wewenang maka, pejabat pemerintahan diwajibkan mengembalian kerugian keuangan negara dalam waktu 10 hari sedangkan apabila tidak disertai penyalahgunaan wewenang, badan pemerintahan wajib mengembalikan dalam tenggang waktu yang sama.

 

Perbedaan pembebanan pertanggung-jawaban pribadi dan jabatan dalam UUAP ini sejalan dengan doktrin kesalahan dalam jabatan sebagai suatu kesalahan yang masih di dalam lingkup pekerjaan (buiten de kring van zijn bevoegheid) sedangkan kesalahan pribadi merupakan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan di luar lingkup pekerjaan (buiten de kring van zijn bevoegheid). Hasil temuan APIP ini dapat diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 21).

 

Selain digariskan oleh UUAP, putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 secara tersirat telah mengingatkan pentingnya penguatan rezim hukum administrasi dalam pemberantasan tipikor. Dan secara tersurat putusan MK tersebut menentukan kerugian harus bersifat actual loss,  tidak hanya bersifat potential loss atau total loss sebagaimana selama ini terjadi.

 

Dikaitkan dengan penentuan kerugian keuangan negara dalam penyelidikan dan penyidikan “korupsi administrasi”, penetapan tersangka menjadi tidak bisa tanpa didahului oleh adanya perhitungan kerugian keuangan negara dari BPK/BPKP. Praktik selama ini sprindik mendahului permintaan penghitungan kerugian negara ke BPK/BPKP.

 

Istilah “korupsi administrasi” dimaksudkan untuk membedakan tipologi korupsi yang termasuk dalam perbuatan penggelapan, pemerasan, penyuapan dan sebagainya. Dalam persfektif hukum administrasi, perbuatan korupsi merupakan konkritisasi tindakan maladministrasi. Namun tidak secara otomatis pula, setiap perbuatan maladministrasi merupakan perbuatan korupsi yang dapat dipidanakan.

 

Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari pemerintahan, kesalahan administratif dapat saja terjadi karena adanya salah kira (dwaling) atau karena kekeliruan yang tidak disengaja sehingga tidak dapat disamakan dengan perbuatan korupsi yang dilakukan secara aktif (sengaja) dengan adanya mens rea (niat jahat) dan perbuatan (actus reus). Sayangnya, PKS ini belum menjawab kebutuhan defenisi-defenisi operasional seperti ini.

 

Di luar delimitasi kerugian keuangan negara, ruang lingkup kesalahan administrasi dalam PKS ini mengandung paradoks lain yang tidak kalah problematis jika dikaitkan dengan pemaknaan diskresi dan penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik—kedua konsep hukum administrasi ini menjadi contradictio in terminis jika dikaitkan sebagai bagian dari suatu kesalahan administrasi.

 

Urgensi Harmonisasi Hukum

Memilah kesalahan administrasi dengan kesalahan pidana memang tidak semudah memisahkan air dan minyak. Namun, pilihan politik hukum nasional yang memadukan pendekatan administrasi dan pendekatan pidana dalam pemberantasan korupsi (low degree of differentation) menimbulkan konsekuensi pentingnya harmonisasi diantara kedua cabang hukum tersebut. Keduanya harus berjalan beriringan namun dalam satu rel yang terpisah.

 

Ironisnya, berbagai produk legislasi dan regulasi dalam pemberantasan korupsi masih banyak yang tumpang tindih (overlapping). Benang kusut batasan antara pertanggung-jawaban administrasi dan pertanggung-jawaban pidana pun menjadi bagian dari kompleksitas tatanan hukum pencegahan/pemberantasan korupsi di tanah air.

 

Oleh karena itu, dalam momentum pembahasan RUU KUHP yang sedang berlangsung, sangat perlu harmonisasi antar cabang hukum yang sama-sama memiliki keterkaitan dalam upaya pemberantasan korupsi. Terlebih lagi sebagaimana disebutkan dalam artikel Prof. Eddy O.S. Hiariej, “Delik Korupsi Dalam RUU KH” (Kompas, 24/02/18), bahwa salah satu point dalam RUU KUHP adalah perlunya penyesuaian United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan UU No 7/2006.

 

Merujuk pada UNCAC, ada enam tindakan yang bersifat non-mandatory offences sebagai korupsi, yakni: (1) memperdagangkan pengaruh; (2) penyalahgunaan fungsi; (3) memperkaya secara tidak sah; (4) penyuapan di sektor swasta; (5) penggelapan kekayaan dalam sektor swasta; dan (6) penyembunyian.

 

Perbuatan memperdagangkan pengaruh (trading influences) dan penyalahgunaan fungsi (abuse of functions) sangat erat kaitannya dengan persfektif hukum administrasi, jika dikaitkan dengan konsepsi penyalahgunaan wewenang (détournement de pouvoir) atau abuse of power.

 

Di samping itu, harmonisasi hukum administrasi dan hukum pidana juga perlu meliputi aspek sinkronisasi pengertian kerugian keuangan negara, ketentuan pengembalian kerugian negara, pilihan penerapan sanksi dan sebagainya. Ketidaksinkronan aturan hukum membuka lebar-lebar terjadinya pelanggaran larangan non-double jeopardy dalam penegakan hukum terkait korupsi. Kumulasi sanksi memungkinkan penerapan sanksi pidana, adminitrasi, dan/atau perdata bagi pelaku korupsi administrasi, sehingga mengaburkan konsep primum remedium dan ultimum remedium.

 

Akhir kata, sebelum PKS ini benar-benar diterapkan lebih jauh masih terbuka ruang untuk merevisinya, agar disesuaikan dengan koherensi berbagai legislasi dan regulasi terkait maupun kaidah hukum lain yang lebih relevan.

 

*)Enrico Simanjuntak adalah Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Indonesia.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait