Pasal Gocap Bisa Menodai Wibawa Mahkamah Konstitusi
Fokus

Pasal Gocap Bisa Menodai Wibawa Mahkamah Konstitusi

Satu dari 14 perkara pertama Mahkamah Konstitusi adalah permohonan uji materiil Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI terhadap UUD 1945. Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, menyebutnya sebagai perkara yang "agak khusus". Kenapa?

Amr
Bacaan 2 Menit

 

"Jadi, di sana ada semangat 'koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi' Bukankah sudah banyak studi yg menyatakan bahwa 'tafsir ganda' itu justru banyak terjadi di masa Orde Baru ke belakang karena lembaga-lembaga negara dan sistem ketatanegaraan mandul total karena totalitarianisme," cetus Bivitri.

 

Keprihatinan senada juga diungkapkan oleh advokat senior Arief T. Surowidjojo. Pembatasan pengajuan judicial review oleh Pasal 50, menurut Arief, bisa menimbulkan dampak yang buruk terhadap dunia usaha. Pasalnya, justeru produk hukum peninggalan Orde Baru lah yang banyak merugikan kepentingan rakyat banyak,termasuk dunia usaha.

 

"Sehingga Mahkamah Konstitusi tidak dapat menjangkau kebijakan publik yang tercantum dalam undang-undang yang diberlakukan masa pemerintahan Orde Baru atau bahkan di saat masih carut marutnya reformasi. Padahal, justru di periode tersebutlah mungkin terjadi banyak pengeluaran kebijakan publik yang bertentangan dengan kepentingan publik," papar Arief dalam artikelnya yang dimuat di hukumonline. (Lebih jauh baca: "Mahkamah Konstitusi dan Dunia Usaha").

 

Penolakan terhadap bunyi Pasal 50 itu, sebetulnya sudah muncul dari Fraksi PDI-P saat pengambilan keputusan RUU Mahkamah Konstitusi antara DPR dan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM pada 6 Agustus 2003.

 

Waktu itu, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan, landasan yang dikemukakan oleh pemerintah -- terkait dengan pembatasan judicial review -- adalah bahwa selama berlakunya UUD 1945, baik pada periode pertama maupun periode setelah Dekrit Presiden tahun 1959, UUD 1945 sama sekali tidak mengakui keberadaan Mahkamah Konstitusi.

 

Lebih dari itu, Yusril menambahkan, UUD 1945 juga tidak mengakui institusi manapun yang berwenang melakukan review atau ujian terhadap undang-undang jika dihadapkan kepada UUD. "Baru ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 kita mengakui keberadaan Mahkamah Konstitusi dan mengakui keberadaan kewenangan dari lembaga itu untuk melakukan pengujian terhadap UU," tegasnya. (Selengkapnya baca: "KRHN: Ini Mahkamah Konstitusi Bunuh Diri").

 

Interpretasi Hakim

Sementara itu, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin, memandang Pasal 50 sebagai upaya untuk menghalang-halangi masyarakat dalam memperoleh keadilan. Padahal, sebagai institusi baru, Mahkamah Konstitusi diharapkan oleh masyarakat dapat membawa cahaya penegakan hukum yang selama ini diimpikan.

Tags: