Pasal Kontroversial di RUU Ketahanan Keluarga, Ini Kata Sang Pengusul
Berita

Pasal Kontroversial di RUU Ketahanan Keluarga, Ini Kata Sang Pengusul

DPR meminta masyarakat memantau perkembangan proses pembahasan RUU Ketahanan Keluarga ini di Baleg.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Politisi PKS Ledia Hanafi Amalia, salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga.
Politisi PKS Ledia Hanafi Amalia, salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga.

RUU Ketahanan Keluarga masih menjadi perhatian publik lantaran materi muatannya dianggap sebagian masyarakat masuk wilayah privat (internal keluarga) yang semestinya cukup diatur dalam norma agama dan kesusilaan atau etika. Ada beberapa pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga yang potensial terus menjadi sorotan masyarakat hingga pembahasan di parlemen. Berdasarkan draf RUU Ketahanan Keluarga yang diperoleh Hukumonline, terdapat beberapa pasal yang berpotensi menjadi polemik di masyarakat.

 

Seperti Pasal 25 ayat (3) RUU Ketahahan Keluarga yang menyebutkan, “Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain: a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; b. menjaga keutuhan keluarga; serta c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

 

Pasal 85 menyebutkan, Badan yang menangani Ketahanan Keluarga wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf f berupa: a. rehabilitasi sosial; b. rehabilitasi psikologis; c. bimbingan rohani; dan/atau d. rehabilitasi medis”.

 

Bila membaca Penjelasan Pasal 85 ayat (1) frasa “penyimpangan seksual” adalah dorongan dan kepuasan yang ditujukan tak lazim, atau melalui cara yang tidak wajar. Antara lain, sadisme, masochisme, homosex, dan incest.

 

Pasal 86 menyebutkan, “Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota Keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.”

 

Pasal 88 menyebutkan, “Lembaga rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dan Pasal 87 untuk Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat yang ditunjuk oleh Badan yang menangani Ketahanan Keluarga.”

 

Kemudian Pasal 139 menyebutkan, “Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Tags:

Berita Terkait