Pasal Kontroversial di RUU Ketahanan Keluarga, Ini Kata Sang Pengusul
Berita

Pasal Kontroversial di RUU Ketahanan Keluarga, Ini Kata Sang Pengusul

DPR meminta masyarakat memantau perkembangan proses pembahasan RUU Ketahanan Keluarga ini di Baleg.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Sedangkan Pasal 140 menyebutkan, “Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

 

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan anggapan publik terhadap sejumlah pasal-pasal krusial dalam RUU Ketahanan Negara harus menjadi warning dalam pembahasan bersama pemerintah. Dia melanjutkan draf RUU ini masih tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) dan belum resmi menjadi usul inisiatif DPR.

 

Terkait tudingan RUU Ketahanan Keluarga dirancang untuk menghentikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Dasco menilai terlampau spekulatif dan tudingan tersebut belum bisa dibuktikan. Dia meminta masyarakat memantau perkembangan proses pembahasan RUU ini di Baleg. “Nanti kita lihat perkembangannya,” ujar Dasco di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (21/2/2020). Baca Juga: Urusan Suami-Istri dalam RUU Ketahanan Keluarga yang Jadi Polemik

 

Sang pengusul RUU ini, Ledia Hanifa Amaliah mengakui ada sejumlah pasal yang dianggap krusial yang menjadi perhatian masyarakat, seperti soal penyimpangan seksual. Dia beralasan RUU Ketahanan Keluarga mengurai bentuk-bentuk perilaku seksual menyimpang yang patut diwaspadai oleh keluarga Indonesia secara menyeluruh.

 

“Karena ini akan berdampak mengikis nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial-budaya, serta dapat merusak kondisi psiko-sosial anggota keluarga,” ujarnya kepada Hukumonline, Jumat (21/2/2020).

 

Anggota Komisi X DPR itu melanjutkan sadisme, masokisme, homoseksual, dan inses merupakan bentuk-bentuk penyimpangan seksual. Secara umum, bentuk-bentuk seksual menyimpang itu diketahui membahayakan, melukai fisik dan psikologi. Bahkan dapat menyebabkan kematian anggota keluarga yang melapor ketika ada anggota keluarga yang mengalami penyimpangan seksual itu.

 

Tujuannya, agar para korban penyimpangan seksual berani melapor kepada Badan terkait, untuk mendapatkan pelindungan dan bantuan rehabilitasi keluarga. Sementara layanan rehabilitasi keluarga disediakan oleh pemerintah. Tentu saja yang mudah diakses oleh keluarga yang membutuhkan. “Dan disyaratkan agar Pusat Layanan Ketahanan Keluarga ini harus menyimpan rahasia Keluarga yang dilayani,” katanya.

Tags:

Berita Terkait