Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Problema Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik (Lanjutan)
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Problema Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik (Lanjutan)

​​​​​​​Menurut HR Pasal 1338 BW tidak memberikan wewenang kepada hakim untuk, demi untuk memungkinkan pelaksanaannya dengan iktikad baik, mengubah isi perjanjian.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Kalau dalam Pasal 1338 ayat (3) BW disebutkan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”, maka tujuannya adalah, bahwa hak dan kewajiban para pihak, yang muncul dari perjanjian itu, tetap mengikat, dan selanjutnya diberikan beberapa patokan pelaksanaannya, tetapi sama sekali tidak bermaksud untuk memberikan ketentuan yang menyingkirkan asas-asas yang telah disebutkan.

 

Bahwa karenanya adanya perubahan yang terjadi sesudah perjanjian ditutup, baik yang bersifat ekonomis, pribadi atau bersifat lain, penerapan Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1339 BW tidak bisa menghapus hak kreditur untuk menuntut pemenuhan kewajiban perjanjian, sedang penilaian dan akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur, bisa diuji pada Pasal 1343 dan selanjutnya serta Pasal 1266 dan 1267 BW.

 

Kesimpulannya: Perjanjian yang telah disepakati secara sah tetap harus dilaksanakan sebagaimana adanya, sekalipun pelaksanaan menurut apa adanya, sebagai akibat dari perubahan keadaan, akan menimbulkan ketidakpatutan.[2]

 

Pengadilan Indonesia

Dari Pengadilan di Indonesia, penulis akan menyampaikan contoh beberapa keputusan. Perkara yang pertama adalah keputusan dari Direksi Pemulihan Hak Jakarta,[3] yang dihadapkan kepada masalah, apakah perjanjian harus dilaksanakan sebagaimana kata-katanya. Ataukah pihak asuransi boleh membatalkan pertanggungan yang telah ditutup, kalau tertanggung lalai untuk membayar kewajiban preminya, sekalipun dalam peristiwa yang terjadi, tertanggung terhalang untuk membayar premi karena terhalang oleh timbulnya perang dunia kedua?

 

Apakah pembatalan pertanggungan oleh pihak asuransi -sekalipun didasarkan atas apa telah disepakati oleh para pihak- merupakan pelaksanaan perjanjian dengan iktikad baik? Sebaliknya, apakah tuntutan tertanggung, agar -dalam keadaan yang sangat berubah sebagai akibat dari meletusnya perang- pihak asuransi tetap harus membayar santunan asuransi, merupakan suatu tuntutan pelaksanaan dengan iktikad baik, kalau pihak asuransi memperhitungkan premi atas dasar tingkat rata-rata kematian pada keadaan normal, sedang dalam keadaan perang ada tingkat kematian yang luar biasa?

 

Pihak Direksi Pemulihan Hak[4] antara lain telah mempertimbangkan, bahwa adalah memang menjadi maksud dari ordonantie untuk memperbaiki (mengembalikan menjadi baik) hal-hal yang karena keadaan luar biasa (sebagai akibat perang) telah rusak (kacau), tetapi perbaikan itu harus dilakukan dengan pertimbangan, bahwa tidak melakukan perbaikan itu adalah tidak pantas.[5] Kalau perubahan itu pantas, maka perubahan itu bisa dibenarkan untuk memenuhi tuntutan pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik.

 

Kesimpulannya: Pengadilan berhak untuk menafsirkan kata-kata perjanjian sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan perjanjian memenuhi tuntutan iktikad baik, kalau pelaksanaan menurut kata-katanya bertentangan dengan tuntutan iktikad baik.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait