Pelaku Korupsi Sering Berlindung Di Balik Kebijakan
Berita

Pelaku Korupsi Sering Berlindung Di Balik Kebijakan

Pelaku tindak pidana korupsi dituding kerap berlindung dibalik kebijakan yang telah dibuat. Padahal, sering kali kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Pelaku Korupsi Sering Berlindung Di Balik Kebijakan
Hukumonline

 

Sebelumnya, kandidat professor National University of Singapore Vedi R. Hafidz berpendapat, pemberantasan tindak pidana korupsi tidak bisa dilihat dari kaca mata hukum belaka. Tapi juga harus dilihat dari sisi politis.

 

Vedy menilai proses pengambilan keputusan, baik lewat undang-undang maupun kebijakan kerap diselubungi nuansa korupsi. Misalnya saja Keputusan Presiden era Soeharto tentang Mobil Timor. Kalau dilihat dari sisi hukum memang bisa dibenarkan karena jelas ada dasar hukumnya, tetapi dari sisi politik tidak bisa dibenarkan karena merupakan kasus penyelewenangan kekuasaan, kata Vedi.

 

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana menyampaikan pandangan tersebut saat menjadi pembicara dalam Forum Publik Anti Korupsi yang diselenggarakan di Sanur, Bali, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di Bali Jumat (25/1). Itu adalah modus baru dalam korupsi yaitu discretion corruption, terangnya.

 

Penyelenggara negara, lanjutnya, berwenang untuk mengeluarkan diskresi atau kebijakan yang menyimpangi pertarutan dalam kondisi tertentu. Misalnya dalam keadaan darurat atau dalam keadaan mendesak. Sayang, diskresi yang dibuat kerap hanya menguntungkan penguasa dan kroni-kroni. Menurut Denny, diskresi semacam itu harus diproses melalui hukum pidana. Sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi, kata Denny.

 

Selain memenuhi unsur menguntungkan', diskresi semacam itu juga masuk kualifikasi unsur melawan hukum. Biasanya diskresi yang ditelurkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) 37/2007 tentang insentif DPR. PP itu bertentangan dengan UU No. 10/2004, katanya. Dalam UU 10/2004 peraturan perundang-undangan dilarang untuk berlaku surut. Sementara PP itu malah melegalkan pemberian insentif secara surut. Itu merupakan bentuk penyalahgunaan kewenang, tegas Denny.

 

Salah satu kasus terkait hal ini adalah perkara korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Pusaran kasus ini adalah Radiogram Depdagri yang ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi. Dalam sidang pekan lalu, ahli Emin Adi Muhaimin dari Bappenas menegaskan kedudukan Radiogram itu lebih rendah dari Keppres pengadaan barang dan jasa. Karena itu, Radiogram tidak boleh bertentangan dengan Keppres tersebut.

 

Selain itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, pembuatan kebijakan sengaja menyelewengkan bentuk produk hukumnya. Yang harusnya melalui PP tapi diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), katanya. Misalnya soal pembagian intensif di daerah.

Tags: