Peluang UMKM dalam Memanfaatkan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial
Kolom

Peluang UMKM dalam Memanfaatkan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial

Melihat besarnya dukungan yang diberikan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia Nomor 24/3/PBI/2022 harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh lembaga perbankan, UMKM dan pihak ketiga terkait lainnya.

Bacaan 6 Menit
Yosea Iskandar. Foto: Istimewa
Yosea Iskandar. Foto: Istimewa

Dalam Framework Pengembangan UMKM Bank Indone​​sia dinyatakan bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peranan penting dan strategis dalam struktur perekonomian Indonesia karena memberikan sumbangan besar terhadap Produk Domestik Bruto (61,1%), penyerapan tenaga kerja (97,1%), dan ekspor (14,4%). Oleh karenanya Bank Indonesia berupaya untuk terus meningkatkan peran UMKM dalam perekonomian yang diselaraskan dengan bidang tugas, visi, misi, dan program strategisnya. Salah satu yang menjadi fokus adalah meningkatkan akses keuangan UMKM untuk mendukung stabilitas sistem keuangan.​

Sejalan dengan hal tersebut Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/13/PBI/2021 sebagaimana diubah dengan Peraturan Nomor 24/3/PBI/2022 Tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) Bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. Sesuai dengan aturan ini, Bank wajib melakukan pemenuhan RPIM yang dihitung dengan membandingkan antara hasil pengurangan nilai Pembiayaan Inklusif dengan nilai Sertifikat Deposito Pembiayaan Inklusif (SDPI) terhadap total Kredit atau Pembiayaan. Sementara yang dimaksud dengan Pembiayaan Inklusif adalah penyediaan dana yang diberikan Bank untuk UMKM, Korporasi UMKM, dan/atau PBR dalam rupiah dan valuta asing.

Pengaturan RPIM ini diharapkan dapat mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, perlu peningkatan akses pembiayaan inklusif dan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah dan perorangan berpenghasilan rendah. Namun demikian masih terdapat berbagai tantangan dalam memperluas cakupan pembiayaan kredit atau pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Antara lain mengingat keahlian dan model bisnis bank dapat berbeda dari satu bank ke bank lainnya.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan memberikan berbagai kemungkinan skema yang dapat diambil bank, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 4 (2). Bank dapat melakukan Pembiayaan Inklusif berupa:

  1. pemberian Kredit atau Pembiayaan secara langsung dan rantai pasok;
  2. pemberian Kredit atau Pembiayaan melalui lembaga jasa keuangan, badan layanan umum, dan/atau badan usaha;
  3. pembelian Surat Berharga Pembiayaan Inklusif (SBPI), yaitu surat berharga sebagai sumber dana untuk program pengembangan UMKM, PBR, dan/atau Pembiayaan Inklusif; dan/atau
  4. Pembiayaan Inklusif lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Baca juga:

Pemberian Kredit atau Pembiayaan Secara Langsung

Pasal 5 Peraturan ini mengatur bahwa Pemberian Kredit atau Pembiayaan secara langsung diberikan kepada: a. UMKM; b. Korporasi UMKM; dan/atau c. Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR), yaitu perorangan dengan batasan penghasilan tertentu per bulan.

Pemberian kredit secara langsung merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan oleh Bank mengingat tidak semua bank memiliki kemampuan untuk menganalisa jenis usaha ini. Selain itu yang tentunya dapat menjadi penghambat adalah dokumentasi yang dimiliki oleh UMKM yang menunjukkan adanya laporan keuangan dari usaha yang bersangkutan. Hal ini amat penting untuk dapat menilai kelayakan usaha yang akan dibiayai oleh Bank.

Faktor lainnya adalah jaminan yang dapat diberikan oleh UMKM kepada Bank. Mengingat jaminan amat penting untuk memastikan bahwa bank dapat memitigasi risiko gagal bayar dari debitur. Apabila jaminan yang diminta masih berupa aset tradisional seperti tanah, bangunan, atau tunai, tentu akan membawa masalah bagi UMKM yang tidak memiliki hal-hal tersebut.

Pemberian Kredit atau Pembiayaan Secara Rantai Pasok

Pemberian Kredit atau Pembiayaan secara rantai pasok diberikan kepada: a. UMKM melalui kelompok UMKM dan/atau klaster UMKM; dan/atau b. badan usaha non-UMKM selain lembaga jasa keuangan.

Sementara itu Pemberian Kredit atau Pembiayaan secara rantai pasok kepada badan usaha non-UMKM selain lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, diberikan dengan ketentuan:

  1. Kredit atau Pembiayaan yang diterima oleh badan usaha non-UMKM selain lembaga jasa keuangan disalurkan untuk membiayai UMKM dan/atau PBR yang menjadi pemasok, distributor, dan/atau mitra dari badan usaha tersebut; dan/atau
  2. Kredit atau Pembiayaan yang diterima oleh badan usaha non-UMKM selain lembaga jasa keuangan berupa pengembang perumahan disalurkan untuk membiayai: 1. proyek pembangunan rumah sederhana dan/atau rumah sangat sederhana; dan/atau 2. pembelian rumah sederhana dan/atau rumah sangat sederhana oleh masyarakat dengan pembayaran bertahap kepada pengembang.

Dalam praktiknya pembiayaan rantai pasok ini dapat diberikan dalam dua bentuk. Pertama adalah Account Receivable Financing, atau pembiayaan piutang bagi UMKM yang menjadi pemasok dengan memperhitungkan invoice atau tagihannya kepada pihak ketiga penerima pasokan. Tentu akan memudahkan Bank untuk dapat memitigasi risiko apabila perusahaan besar dapat memberikan jaminan atau dukungan dari pencairan dana pinjaman yang diajukan oleh UMKM kepada Bank.

Bentuk lain dari Account Receivable Financing dapat berupa Account Receivable Purchase, yaitu pembelian tagihan oleh Bank dari UMKM yang memiliki tagihan kepada pihak ketiga. Account Receivable Purchase dapat dilakukan baik dengan recourse, yaitu hak untuk menagih kembali kepada penjual tagihan, atau without recourse, tanpa hak untuk menagih kembali.

Bentuk kedua adalah Account Payable Financing atau pembiayaan utang bagi pihak ketiga untuk membayar tagihan UMKM yang menjadi pemasoknya. Dengan demikian maka yang menjadi debitur adalah pihak ketiga tersebut. Namun karena penerima manfaat dari pinjaman ini adalah UMKM maka pendanaan ini turut mendukung inklusi keuangan.

Perbedaan antara kedua jenis kredit tersebut adalah dalam pembiayaan piutang yang menjadi debitur bank adalah pemasok, sementara dalam pembiayaan utang yang menjadi debitur adalah penerima pasokan. Kesamaannya adalah dukungan perusahan besar sebagai pihak yang menerima pasokan amat dibutuhkan UMKM dalam proses pembiayaan secara rantai pasok oleh bank.

Pemberian Kredit atau Pembiayaan Melalui Pihak Ketiga

Sementara itu pemberian Kredit atau Pembiayaan melalui pihak ketiga seperti lembaga jasa keuangan, badan layanan umum, dan/atau badan usaha diberikan melalui:

  1. bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah;
  2. lembaga jasa keuangan non-Bank; dan/atau
  3. kerja sama pendanaan dengan badan layanan umum dan/atau badan usaha yang mempunyai kewenangan mengelola dana Bank untuk Pembiayaan Inklusif sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan ini lebih lanjut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pemberian Kredit atau Pembiayaan melalui lembaga jasa keuangan non-Bank” adalah meliputi pemberian:

  1. Kredit atau Pembiayaan melalui lembaga jasa keuangan non-Bank yang ditujukan kepada UMKM, Korporasi UMKM, dan/atau PBR dengan skema channeling, executing, dan sindikasi; dan/atau
  2. Kredit atau Pembiayaan kepada lembaga jasa keuangan non-Bank yang mendukung pembiayaan kepada UMKM, Korporasi UMKM, dan/atau PBR dengan jenis Kredit atau Pembiayaan modal kerja.

Sementara contoh lembaga jasa keuangan non-Bank antara lain perusahaan teknologi finansial, perusahaan pembiayaan, modal ventura, dan lembaga yang mendukung pembiayaan kepada UMKM, Korporasi UMKM, dan/atau PBR sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Perusahaan Pembiayaan

Atas pembiayaan melalui perusahaan pembiayaan berlaku juga ketentuan dalam POJK No.35/POJK.05/2018 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang juga mengatur beberapa skema yang dapat dipilih dalam penyaluran kredit kepada debitur.

Perbedaan antara skema channeling, executing, dan sindikasi atau joint financing itu sendiri terletak pada pihak yang harus menanggung risiko apabila UMKM sebagai debitur melakukan wanprestasi. Hal tersebut akan menentukan siapa yang berwenang memutuskan pemberian kredit, apakah Bank atau pihak ketiga yang bersangkutan.

Chanelling. Pasal 40 POJK 35/POJK.05/2018 menegaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan pembiayaan penerusan (channeling) risiko yang timbul dari kegiatan ini berada pada pemilik dana. Dalam pembiayaan channeling, penerima dana hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbalan dari pengelolaan dana tersebut.

Executing. Dalam pola executing Bank memberikan dana pinjaman kepada pihak ketiga yang akan dipergunakan oleh pihak ketiga tersebut untuk meminjamkan kepada pihak lainnya. Risiko kredit bank ada pada kemampuan membayar pihak ketiga yang memiliki perjanjian dengan bank. Sementara pihak ketiga yang menerima dana dari bank akan menanggung risiko kredit dari debiturnya atau UMKM yang merupakan pemanfaat dana akhir.

Joint Financing. Pasal 41 (1) POJK 35/POJK.05/2018 menyatakan bahwa Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan pembiayaan bersama (joint financing) apabila sumber dana pembiayaan berasal dari Perusahaan Pembiayaan dan pihak lain. Sementara risiko yang timbul dari pembiayaan bersama (joint financing) tersebut menjadi beban masing-masing pihak secara proporsional sesuai dengan besaran dana yang dikeluarkan.

Perusahaan Teknologi Finansial

Pembiayaan melalui perusahaan teknologi finansial dapat dilakukan melalui penyedia platform Peer-to-peer Lending. Hal ini diatur dalam POJK No.77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Kegiatan usaha Penyelenggara yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman.

Dalam skema ini maka Bank dapat menjadi pemberi pinjaman dan UMKM menjadi debitur melalui platform yang disediakan oleh penyelenggara atau perusahaan teknologi finansial. Pembiayaan ini sendiri dapat seluruhnya berasal dari Bank ataupun bekerjasama dengan kreditur lain dalam skema joint financing.

Pembelian Surat Berharga Pembiayaan Inklusif (SBPI)

Pembiayaan Inklusif melalui pembelian SBPI terdiri atas:

  1. pembelian surat berharga dengan underlying berupa Pembiayaan Inklusif;
  2. pembelian surat berharga dengan komitmen penggunaan dana untuk Pembiayaan Inklusif dan/atau program pengembangan UMKM dan PBR;
  3. pembelian surat berharga yang ditujukan untuk tujuan pembangunan atau keuangan berkelanjutan;
  4. pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga jasa keuangan non-Bank yang mendukung pembiayaan kepada UMKM, Korporasi UMKM, dan/atau PBR;
  5. pembelian SDPI; dan/atau
  6. pembelian SBPI lainnya.

Di antara berbagai pilihan yang ada pelaksanaan pembiayaan inklusif melalui pembelian SBPI memang amat menarik bagi bank. Bukan hanya karena dapat mendukung program bank dalam keuangan berkelanjutan tentu amat menarik. Selain mendukung pertumbuhan keuangan inklusif, hal tersebut juga mendorong bank dan UMKM untuk turut berpartisipasi dalam program keuangan berkelanjutan. Namun masih belum dimungkinkan mengingat belum ada aturan pelaksanaannya.

Melihat besarnya dukungan yang diberikan Pemerintah, peraturan ini harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh lembaga perbankan, UMKM dan pihak ketiga terkait lainnya. Agar dapat tercapai dengan baik maka berbagai peraturan pelaksanaan mungkin masih diperlukan dan prinsip kehati-hatian haruslah tetap diperhatikan.

*)Yosea Iskandar, Praktisi Hukum Perbankan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait