Pembahasan RUU MK Tertutup Bentuk Pembungkaman Aspirasi Masyarakat
Berita

Pembahasan RUU MK Tertutup Bentuk Pembungkaman Aspirasi Masyarakat

Proses kerja legislasi yang dilakukan sangat cepat dan tertutup dapat dinilai sebagai upaya sengaja untuk membatasi atau bahkan menutup partisipasi masyarakat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Sebab, saat pembahasan RUU MK, DPR dan pemerintah melibatkan pemangku kepentingan, seperti MK sebagai pihak pengguna UU dan Mahkamah Agung. Lain ceritanya dengan proses pembahasan revisi UU KPK. Dalam perjalanannya, revisi UU KPK dilakukan tertutup, tak membuka ruang bagi masyarakat memberi masukan, serta dikebut dalam hitungan minggu. “Kenapa pas membahas UU KPK, tidak ajak KPK?”

Sholikin menilai proses legislasi yang terjadi saat ini kebalikan dengan pernyataan-pernyataan yang disampaikan Presiden yang mendorong perbaikan kualitas peraturan perundang-undangan. Padahal, arahan ini tidak pernah dijalankan serius oleh pemerintah selama ini. “Juga tidak pernah ada evaluasi serius dari Presiden soal implementasi  kebijakan oleh menteri atau pejabat yang mengurusi perundang-undangan,” katanya.

Sebelumnya, Revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang diajukan Ketua Baleg DPR ini menimbulkan pertanyaan publik. Alasannya pada April lalu, Baleg DPR mengusulkan perubahan aturan syarat usia, batas pensiun hakim konstitusi, dan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dalam RUU MK untuk menyesuaikan amanat putusan MK.

Alhasil, sejumlah koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari ICW, PSHK Indonesia, Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND, Pukat UGM, dan YLBHI menolak rencana DPR untuk merevisi UU MK karena perubahannya tidak substansi dalam upaya memperkuat MK.  

Dalam Pasal 4 ayat (3) draf RUU MK mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun yang mengubah pasal serupa dalam UU No. 8 Tahun 2011 yang menyebutkan masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU MK itu, syarat usia minimal calon hakim konstitusi diubah dari 47 tahun menjadi 60 tahun tanpa batas usia maksimal.  

Selain itu, Pasal 87 huruf c RUU MK menghapus Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 yang mengatur periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan 5 tahun berikutnya. Dalam Pasal 87 huruf c RUU MK itu, intinya usia pensiun hakim konstitusi (dari 60 tahun) hingga usia 70 tahun disamakan usia pensiun hakim agung.

Tags:

Berita Terkait