Pemerintah, Akademisi, dan Konsultan Hukum Bahas Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang
Terbaru

Pemerintah, Akademisi, dan Konsultan Hukum Bahas Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang

FGD diselenggarakan secara hybrid di Four Points Hotel, Medan dan online melalui platform ZoomMeeting; dan diharapkan mampu menjadi ruang bagi pemerintah, akademisi, maupun praktisi hukum untuk dapat berdiskusi, memahami, serta memilih strategi penyelesaian sengketa utang-piutang yang paling baik.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 7 Menit
Focus group discusion bertema 'Strategi Penanganan Permasalahan Utang Piutang Perusahaan dalam Perspektif Hukum Bisnis' pada Selasa (6/6). Foto: istimewa.
Focus group discusion bertema 'Strategi Penanganan Permasalahan Utang Piutang Perusahaan dalam Perspektif Hukum Bisnis' pada Selasa (6/6). Foto: istimewa.

Terdapat beragam upaya penyelesaian sengketa utang-piutang. Sebagai debitur, opsinya dapat berupa mekanisme PKPU dan kepailitan, restrukturisasi, hingga likuidasi. Sementara itu, bagi kreditur, opsinya dapat berupa konversi piutang menjadi kepemilikan saham (jika perusahaan debitur berjalan dengan baik). ‘Kepemilikan saham’ di sini berbeda dengan convertible bonds, yaitu utang yang menyatakan bahwa piutang dikonversikan menjadi kepemilikan saham sejak awal.

 

Hal ini disampaikan oleh narasumber pertama dalam focus group discusion bertema ‘Strategi Penanganan Permasalahan Utang Piutang Perusahaan dalam Perspektif Hukum Bisnis’ pada Selasa (6/6), yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D. FGD diselenggarakan secara hybrid di Four Points Hotel, Medan dan online melalui platform ZoomMeeting; dan diharapkan mampu menjadi ruang bagi pemerintah, akademisi, maupun praktisi hukum untuk dapat berdiskusi, memahami, serta memilih strategi penyelesaian sengketa utang-piutang yang paling baik.

 

Persyaratan permohonan PKPU dan kepailitan, baik oleh debitur maupun kreditur ini dinilai mudah, karena hanya perlu dua kreditur atau lebih dan ada satu utang yang telah jatuh tempo. Akibatnya, kebanyakan perusahaan tersebut harus membayarkan utang-piutang, padahal sebenarnya tagihan tersebut dapat diajukan di gugatan perdata saja. Namun, ia tetap tidak setuju dengan fenomena kreditur kecil mengajukan PKPU atau kepailitan kepada debitur besar. Dua contohnya, Telkomsel yang dipailitkan oleh kreditur yang hanya memiliki tagihan Rp5 miliar; atau pengajuan kepailitan kepada Ace Hardware, karena retainer fee yang belum dibayarkan.  

 

“Begitu pula tindakan kreditur yang memasukkan permasalahan utang-piutang ke dalam ranah pidana. Langkah ini memang efektif, tetapi proses pengajuan gugatan akan memakan proses yang lama dan panjang. Selain itu, dalam sebuah tindak pidana harus ada unsur keinginan berbuat jahat (mens rea) dan tindak pidana kejahatannya,” kata Hikmahanto.

 

Menurut Hikmahanto, kendati merupakan salah satu stakeholder yang mengetahui alternatif strategi penyelesaian sengketa utang-piutang, advokat biasanya tidak mengetahui secara pasti mengenai sisi bisnisnya. Justru para klien—baik debitur maupun kreditur—yang lebih memahami peluang dan tantangan perusahaannya. Tidak menutup kemungkinan, perusahaan juga memiliki tenaga ahli maupun berpengalaman melakukan restrukturisasi utang.

 

Di sisi lain, banyak perusahaan mencari perusahaan lain yang bermasalah (atau punya tagihan) untuk menyelesaikan dan merestrukturisasi. Ketika perusahaan tersebut sudah bangkit, maka baru dilakukan penjualan ke pihak ketiga. “Contohnya, banyak sekali sekarang bank internasional yang mengambil alih bank nasional, ketimbang membuka cabang yang hanya diperbolehkan di lima ibu kota provinsi, karena ketentuannya memperbolehkan bank asing memiliki saham sampai dengan 99%. Contoh lainnya, kesuksesan proses PKPU dari PT Garuda Indonesia, Tbk. untuk mencegah adanya unsur kerugian negara yang mengakibatkan pihak kejaksaan, kepolisan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memasuki dugaan tindak pidana korupsi,” kata Hikmahanto.

 

Namun, salah satu kekurangan proses PKPU dan kepailitan di Indonesia adalah tidak adanya insolvency test dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU untuk menguji kemampuan atau ketidakmampuan debitur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia, Hikmahanto Juwana menemukan bahwa pengajuan PKPU dan kepailitan lebih banyak diajukan oleh debitur. “Berbeda dengan di Indonesia yang justru dalam praktiknya lebih banyak diajukan oleh kreditor,” Hikmahanto menambahkan.

Tags: