Pemerintah Bantah Semena-mena Tentukan Tarif PNBP
Berita

Pemerintah Bantah Semena-mena Tentukan Tarif PNBP

Dalil pemohon yang menyatakan pemerintah bertindak semena-mena sangat tidak relevan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Bantah Semena-mena Tentukan Tarif PNBP
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)dan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi terkait penentuan jenis dan tarif PNBP oleh pemerintah. Sidang kali hanya mengagendakan tanggapan pemerintah.

Dalam tanggapan yang dibacakan Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Informatika Kemeninfo Muhammad Budi Setiawan ditegaskan penetapan tarif PNBP diatur peraturan pemerintah yang sifatnya melaksanakan UU PNBP. Dalam penetapan PNBP itu juga harus memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya.

Jenis PNBP yang akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah juga harus disampaikan ke DPR sebagai bahan penyusunan RUU APBN. “Jadi dalil permohonan yang menganggap pemerintah sewenang-wenang tanpa batas menambah jenis PNBP itu tidak berdasar,” kata Budi di hadapan sidang pleno yang dipimpin Hamdan Zoelva.

Permohonan ini diajukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Ahmad Suwandi Idri. Mereka memohon pengujian Pasal 2, Pasal 3 UU PNPB dan Pasal 16, Pasal 26, Pasal 34 UU Telekomunikasi lantaran dikenakan berbagai jenis tarif biaya penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

Misalnya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP menyebutkan jenis dan tarif PNBP selain yang disebutkan dalam UU itu, dapat diatur melalui peraturan pemerintah. Seperti, PP No. 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas PNBP yang Berlaku pada Kemenkoinfo dan kemudian diubah dengan PP No. 76 Tahun 2013 dimana pemerintah dapat secara bebas menambah jenis pungutan dan tarifnya tanpa campur tangan DPR.

Akibatnya, besaran tarif dan biaya penyelenggaraan telekomunikasi ditentukan sesuka hati oleh pemerintah. Berlakunya ketentuan itu sangat memberatkan pemohon berupa pungutan PNBP atas kontribusi kewajiban pelayanan universal telekomunikasi (universal service obligation/USO), biaya hak penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi.

Pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyebutkan ‘Pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dengan undang-undang.’ Sebab, PNPB salah satu pungutan memaksa, sehingga tarifnya tidak boleh diatur dalam PP. Karenanya, pemohon meminta MK menghapus Pasal 2, Pasal 3 UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26, Pasal 34 UU Telekomunikasi karena bertentangan dengan  UUD 1945.

Budi melanjutkan pembebanan biaya penyelenggaraan telekomunikasi yang masuk PNBP diambil dari persentase pendapatan penyelenggaraan jaringan atau jasa telekomunikasi merupakan bentuk kompensasi berdasarkan perizinan. Kewajiban penyelengara jaringan telekomunikasi membayar biaya penggunaan spektrum frekuensi radio pun merupakan sarana pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.

Dijelaskan Budi, pengaturan kontribusi kewajiban pelayanan universal, biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi pun telah membuktikan adanya keterwakilan masyarakat melalui DPR  terkait pengaturan PNBP sektor telekomunikasi (penyusunan RUU APBN). “Sehingga, Pasal 16, Pasal 26, Pasal 34 UU Telekomunikasi konstitusional dengan Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Pemerintah tegaskan tidak pernah bersikap semena-mena dalam menetapkan besaran tarif atas kontribusi kewajiban pelayanan universal, biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. “Penetapan besaran tarif atas PNBP sudah diatur dalam PP No. 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada Departemen Komunikasi dan Informatika seperti diubah dengan PP No. 76 Tahun 2010”.

“Jumlah total besaran PNBP yang dipungut dari konstibusi kewajiban pelayanan universal dan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi tetap sebesar 1,75 persen dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi,” tegasnya. “Dalil pemohon yang menyatakan pemerintah bertindak semena-mena sangat tidak relevan dan tidak memiliki landasan hukum yang sah.”
Tags:

Berita Terkait