Pemerintah Berencana Moratorium Penerbitan Izin Pinjaman Online
Terbaru

Pemerintah Berencana Moratorium Penerbitan Izin Pinjaman Online

Presiden Jokowi menekankan tata kelola pinjaman online (pinjol) harus diperhatikan karena sudah ada lebih dari 68 juta orang yang ikut dalam aktivitas kegiatan teknologi finansial tersebut.

M. Agus Yozami
Bacaan 5 Menit
Salah satu contoh tawaran pinjaman online yang biasa diterima masyarakat melalui telepon genggam. Foto ilustrasi: RES
Salah satu contoh tawaran pinjaman online yang biasa diterima masyarakat melalui telepon genggam. Foto ilustrasi: RES

Sorotan terhadap pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 11 Oktober 2021. Presiden mengaku sering mendengar banyak masyarakat lapisan bawah yang tertipu dan terjerat bunga tinggi dari perusahaan pinjaman online (pinjol), di tengah pesatnya digitalisasi sektor ekonomi dan keuangan.

Menanggapi hal itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengatakan pemerintah akan melakukan moratorium penerbitan izin penyelenggara pinjaman daring. "OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan melakukan moratorium untuk penerbitan izin fintech atas pinjaman online legal yang baru," kata Johnny G. Plate di lingkungan Istana Presiden Jakarta, seperti dilansir Setkab, Sabtu (16/10).

Oleh karena itu, Kominfo juga akan melakukan moratorium penerbitan penyelenggara sistem elektronik untuk pinjaman online yang baru, atau meningkatkan 107 pinjol legal yang saat ini telah terdaftar resmi dan beroperasi di bawah tata kelola OJK. (Baca: Pandangan Dua Pakar Hukum Terkait Maraknya Pinjol Ilegal)

Jhony menyampaikan hal tersebut seusai melakukan rapat bersama dengan Presiden Jokowi. Dalam pertemuan itu, Johnny menyebut Presiden Jokowi menekankan bahwa tata kelola pinjaman online (pinjol) harus diperhatikan karena sudah ada lebih dari 68 juta orang yang ikut dalam aktivitas kegiatan teknologi finansial tersebut.

"Lebih dari Rp260 triliun omzet atau perputaran dana yang ada di dalamnya. Mengingat banyak sekali penyalahgunaan atau tindak pidana di dalam ruang pinjaman online maka Bapak Presiden memberikan arahan yang sangat tegas tadi," kata Johnny.

Menurut Jhonny, Kominfo sejak 2018 hingga 15 Oktober 2021 telah menutup 4.874 akun pinjaman online. Pada tahun 2021, pinjol yang telah ditutup sebanyak 1.856 yang tersebar di website, Google Play Store, YouTube, Facebook, dan Instagram serta di file sharing.

"Kami akan mengambil langkah-langkah tegas dan tanpa kompromi untuk membersihkan ruangan digital dari praktik-praktik pinjaman online ilegal atau pinjaman online tidak terdaftar yang dampaknya begitu serius," kata Johnny.

Johnny mengungkapkan Polri juga akan mengambil langkah-langkah tegas di lapangan berupa penahanan, penindakan, dan proses hukum yang tegas terhadap semua tindak pidana pinjaman. “Karena yang terdampak adalah masyarakat kecil, khususnya masyarakat dari sektor ultramikro dan UMKM, kami tidak akan membuka ruang dan kompromi untuk itu," kata Johnny menegaskan.

Di samping itu, Kominfo juga telah membentuk Forum Ekonomi Digital Kominfo yang secara berkala setiap bulan melakukan pertemuan untuk membicarakan pengembangan, peningkatan, dan pemutakhiran ruang-ruang digital dan transaksi-transaksi ekonomi digital, termasuk membicarakan terkait dengan pinjaman online dan penangkalan pinjaman online tidak terdaftar atau ilegal.

"Sekali lagi, Kominfo akan membersihkan ruang digitalnya, melakukan proses take down secara tegas dan tepat. Pada saat yang bersamaan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Polri akan mengambil langkah-langkah tegas atas semua pelaku tindak pidana pinjaman online tidak terdaftar," ungkap Johnny.

Ketua Dewan Komisioner (OJK) Wimboh Santoso berjanji akan terus memberantas layanan pinjaman online (pinjol) ilegal ke seluruh wilayah Tanah Air. Wimboh mengatakan pihaknya telah dan akan terus bekerja sama dengan Kepolisian RI (Polri), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan para pihak terkait lainnya, untuk menutup perusahaan pinjaman online (online) ilegal atau tidak terdaftar.

“Ke depan, senantiasa akan terus kami lakukan seluruh wilayah Indonesia, edukasi kepada seluruh masyarakat dan memberantas produk-produk yang ilegal,” katanya.

Menurut dia, OJK telah memiliki nota kesepahaman dengan Kepolisian RI, Kemkominfo, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Bank Indonesia untuk berkolaborasi dalam pemberantasan pinjol ilegal. Ia menyarankan masyarakat yang ingin mendapat fasilitas pendanaan dari pinjol atau layanan pendanaan berbasis teknologi (fintech), agar hanya bekerja sama dengan pinjol yang terdaftar dan berizin dari OJK.

Tertibkan Aturan Main

Pakar keamanan siber dari CISSReC, Pratama Persadha, memandang pemerintah memang perlu melakukan moratorium perizinan pinjol, setidaknya untuk menertibkan aturan main dan edukasi tentang pinjol resmi kepada masyarakat.

"Dengan adanya moratorium ini, kami berharap pemerintah bisa merapikan urusan pinjol sekaligus melakukan edukasi tentang pinjol resmi," kata dia seperti dikutip dari Antara.

Aturan main terkait dengan pinjol ini, kata dia, juga harus disesuaikan dengan UU tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang hingga sekarang pembahasan RUU ini sedang digodok di Komisi I DPR.

Ia memandang penting ketentuan itu ada di dalam UU PDP, apalagi Presiden Jokowi menekankan bahwa tata kelola pinjol harus mendapat perhatian karena lebih dari 68 juta orang yang ikut dalam aktivitas kegiatan teknologi finansial atau financial technology.

"Ditambah lagi, informasi terkait dengan omzet atau perputaran dana yang ada di dalamnya lebih dari Rp260 triliun," kata dia.

Menurut dia, masalah utamanya adalah pinjol yang beredar di Tanah Air sebagian adalah pinjol ilegal yang tidak terdaftar di OJK. Akibatnya, secara regulasi mereka abai dan memberikan bunga yang sangat tinggi bagi masyarakat.

"Malah ada yang menentukan bunga 2 persen per hari, artinya dalam 2 bulan saja nilai utangnya lebih dari dua kali lipat. Tentu ini melanggar aturan main OJK dan Bank Indonesia (BI)," ujarnya.

Selain itu yang cukup berbahaya adalah praktik pinjol ilegal yang melanggar privasi dan menggunakan data pribadi nasabahnya seenaknya. Meskipun belum ada UU PDP, menurut Pratama, prinsip-prinsip dan norma hukum banyak yang mereka tabrak. Misalnya, mengirimkan pesan kepada semua kontak nasabah bahwa nasabah belum membayar utang. Bahkan, sebagian besar kontak yang ada di smartphone nasabah pinjol ilegal ditelepon dengan kata-kata kasar.

"Yang sangat mengkhawatirkan dari pinjol ilegal adalah penyalahgunaan data pribadi dengan mengakses secara 'paksa' ke kontak nasabah," katanya.

Walaupun nasabah ada yang diberi tahu sebelumnya, kata Pratama, tetap saja ini bukan praktik yang 'normal' dan taat hukum. Praktik ini malah mencederai kemanusiaan yang beradab. Ia juga memandang perlu pemerintah melakukan berbagai pengecekan kembali pada pinjol legal yang beredar apakah mereka benar-benar bekerja sesuai dengan aturan atau tidak. Misalnya, apakah ada kerja sama pinjol resmi dengan pinjol ilegal, terutama terkait dengan sharing data.

Di samping itu, juga harus dicek dan dipastikan keamanan siber pada setiap pinjol resmi yang legal. Hal ini, kata dia, jangan sampai terjadi sistem yang lemah memunculkan utang fiktif dengan menggunakan identitas orang lain. "Ini penting karena sekarang ini banyak beredar foto masyarakat dengan selfie KTP yang ini jelas sangat berbahaya. Seharusnya sistem di pinjol resmi yang legal bisa mendeteksi ajuan palsu semacam ini," katanya.

Ia menekankan, pinjol resmi harus punya pengamanan sistem informasi yang jauh lebih baik. Selain itu, jangan sampai pinjol resmi juga mempraktikan hal-hal yang identik dengan pinjol ilegal.

Tags:

Berita Terkait