Pemerintah Indonesia telah merespon putusan WTO tersebut dengan melakukan perubahan peraturan terkait produk-produk yang dipermasalahkan. Sayangnya, sampai batas waktu penyesuaian peraturan tahap pertama pada 22 Juni 2018, AS menilai perubahan peraturan yang pemerintah Indonesia lakukan belum cukup mengakomodir keputusan WTO.
Karenanya, AS meminta kepada WTO untuk menerapkan sanksi kepada Indonesia berupa retaliasi atau aksi balas berupa pengenaan tarif agar produk (ekspor) Indonesia tidak dapat masuk ke AS.
Persoalan sanksi dagang AS ini juga menjadi perhatian lembaga nirlaba yang salah satu fokus mengadvokasi isu perdagangan internasional, Indonesia Global Justice (IGJ). Direktur Eksekutif IGJ, Racmi Hertanti menjelaskan retaliasi tersebut merupakan konsekuensi hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa di WTO. Menurutnya, pemerintah seharusnya sudah dapat memperkirakan retaliasi tersebut jika dianggap belum menyesuaikan regulasi dengan ketentuan WTO.
Rachmi menganggap permintaan retaliasi tersebut merupakan strategi AS dalam mengatasi defisit perdagangannya dengan negara lain termasuk Indonesia. “Ini (retaliasi) akan menutup keleluasaan Indonesia untuk menegosiasikan beberapa kesepakatan dagang dengan AS yang secara khusus melemahkan posisi tawar Indonesia,” kata Rachmi. Baca Juga: Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Keluar dari Keanggotaan WTO
Menurut Rachmi, pemerintah perlu bertindak cepat melakukan pertemuan dengan AS untuk memastikan bahwa telah melakukan penyesuaian aturan guna mengikuti ketentuan WTO. “Sesegera mungkin membuktikan kepada AS, bahwa Indonesia telah melaksanakan keputusan (WTO) dalam konsultasi ke depan,” harap Rachmi.
Berdasarkan dokumen IGJ, berdasarkan hasil laporan Panel DSB WTO terdapat beberapa peraturan dan perundang-undangan Indonesia yang dinilai tidak konsisten dengan aturan WTO yaitu:
|