Pemerintah Diminta Revisi Terbatas Permendikbudristek 30/2021
Terbaru

Pemerintah Diminta Revisi Terbatas Permendikbudristek 30/2021

Terutama memperbaiki definisi kekerasan seksual dan menghilangkan frasa “tanpa persetujuan”.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Willy Aditya mengakui baru mengetahui adanya Permendikbudristek 30/2021. Namun setelah membaca, beberapa poin dalam materi muatan Permendikbudristek 30/2021 lebih maju ketimbangan RUU TPKS yang sedang dibahas. “Kalau boleh jujur, ini (Permendikbudristek 30/2021, red) progress ketimbang RUU-nya sendiri,” ujarnya.

Dia beralasan RUU TPKS memulai persoalan dari hulu yang bersifat ekstrim yang diistilahkan dalam perspektif konservatif dan liberal. Sementara Permendikbudristek 30/2021 bersifat faktual yang memotret situasi di lingkungan perguruan tinggi. Menurutnya, Permendikbudristek 30/2021 paling konsen dan progress merespon kekerasan seksual di lingkungan kampus. Sebagai orang yang paham hidup di lingkungan kampus, Willy memahami pentingnya beleid tersebut.

Willy mengamini pandangan Syaiful Huda yang menginginkan agar pemerintah merevisi terbatas Permendikbudristek 30/2021. Baginya, materi Permendikbudristek 30/2021 tidak seberat UU. Menurutnya, RUU TPKS cenderung pada perlindungan korban kekerasan seksual. Sebab, seberat apapun pelaku diganjar hukuman tak berdampak apapun terhadap diri korban. Makanya dalam RUU TPKS terdapat bab khusus tentang korban, keluarga korban, dan saksi. Selain itu fokus pada perempuan, anak dan kaum disabilitas.

“Ini ruang ruang kosong yang diisi di dalam RUU ini, karena bagaimana memuliakan perempuan dan melindungi anak dan kaum disabilitas,” katanya.

Namun demikian, politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu mengingatkan agar muatan aturan setingkat Peraturan Menteri (Permen) tidak melampaui aturan di atasnya seperti UU. Menurutnya, semangat pencegahan dan penindakan diperbolehkan sepanjang memahami hierarki peraturan perundang-undangan. “Spirit boleh kita ingin ke bulan, tapi kaki harus tetap menginjak di bumi itu saja,” katanya.

Terpisah, Koordinator Presidium Majelis Nasional Forum Alumni Himpunan Mahasiswa Islam-wati (Forwati) Hanifah Husein meminta menarik dan menyempurnakan Permendikbudristek 30/2021. Khususnya menghilangkan frasa “tanpa persetujuan korban”. Dia menilai keberadaan frasa tersebut membuka celah kebolehan melakukan kekerasan seksual, memantik, sekaligus memberi peluang bagi terjadinya perzinahan atas dasar persetujuan allias suka sama suka.

“Kekerasan seksual dan berbagai implikasinya mesti dipandang tidak hanya dalam konteks hubungan personal dan hubungan sosial semata-mata. Melainkan harus dilihat dalam keseluruhan konteks kebudayaan dengan berbagai nilai dan norma suatu masyarakat dan bangsa,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait